ANGGARAN untuk gaji dan operasional pejabat atau kepala daerah terlampau tinggi. Seperti baru-baru ini dikemukakan oleh Lucky Hakim, Wakil Bupati Indramayu sebelum mengundurkan diri dari jabatan.
Ia bahkan mengaku mundur karena secara moral terbebani besarnya anggaran yang diterima, namun berbanding terbalik dengan beban kerjanya sebagai seorang pejabat publik.
Lucky mengungkapkan, seperti dilansir Kompas.com, uang makan-minum untuk seorang wakil bupati saja lebih dari Rp 100 juta per bulan, itu di luar gaji dan fasilitas lainnya. Meski telah menerima tunjangan dan listrik gratis.
“Saya sudah dapat gaji Rp 50 juta lebih dengan segala fasilitas yang mewah. Ditambah anggaran makan-minum hingga Rp 170 juta per bulan,” ungkap Lucky.
Pesan dan kesaksian Lucky Hakim adalah gambaran dari postur anggaran untuk pejabat atau kepala daerah di Tanah Air. Dengan alokasi dana yang besar menjadikan sebagian mereka kerap petantang-petenteng bak raja-raja kecil. Maunya dilayani, bukan melayani.
Sehingga anggaran yang mestinya diperuntukan mengangkat masyarakat dari kemiskinan dan ketertinggalan, justru dipakai untuk pengadaan berbagai fasilitas serta melayani pejabat publik.
Padahal di era disrupsi dengan berbagai dampak yang mengemuka, entitas kepala daerah atau pejabat kekinian dituntut tampil lebih progresif. Memiliki diferensiasi karakter dengan pejabat kolot, amtenar yang bermental feodal.
Diharapkan pula yang genuine, yakni memiliki visi membangun peradaban, bukan sekadar mengejar nilai tambah kefanaan atau duniawi yang semu.
Menjadi kepala daerah atau pejabat yang memahami dan mampu merespons realitas di masyarakat, menjawab tantangan zaman.
Kemauan untuk terus melayani dengan sikap-tindakan penuh hikmah, adalah kepala daerah atau pejabat yang membumi dan merakyat. Berlaku layaknya masyarakat berperadaban dengan misi pelayanan yang cerdas dan mencerahkan.
Menghadirkan kepala daerah dan pejabat semacam itu tentu saja membutuhkan inovasi sosial dan kreativitas, serta kemauan untuk mengabdi. Dalam konteks tersebut menjadi kepala daerah atau pejabat yang tampil apa adanya dan gesit ala backpackers bisa jadi pilihan.
Backpackers sebenarnya adalah istilah untuk travelers atau wisatawan yang melakukan perjalanan dengan hanya bermodal tas ransel berisi pakaian dan perlengkapan secukupnya. Lebih simple dan dinamis.
Paradigma “official backpackers" ini adalah, pejabat publik yang tercerahkan dengan kesederhanaan, bergerak cepat, penuh integritas dan solutif terhadap problem kemasyarakatan. Sesuatu yang diperlukan saat ini, di tengah ironi panjat sosial para pejabat dan keluarganya.
Kepala daerah dan pejabat yang tampil ala backpackers akan memiliki pergerakan atau mobilitas yang tinggi dan cekatan, sehingga mampu meng-cover seluruh daerahnya, terutama yang memiliki rentang kendali yang luas dan sulit dijangkau.
Mereka siap bermalam di perkampungan dan rumah-rumah warga untuk bisa merasakan denyut sosial-ekonomi penduduk lapisan paling bawah secara langsung, kemudian mencarikan solusi, tanpa harus dilayani secara berlebihan.