Berbagai operasi dilakukan dengan legitimasi untuk memerangi kelompok yang bersebarangan dengan dianggap sebagai “separatis”, “makar”, “teroris”, “premananisme”, “komunis”, “anti-Pancasila”, “antipembangunan”, dan lain sebagainya.
Dwifungsi ABRI seolah menjadi pembenaran bahwa negara memang harus tunduk di bawah rezim militer. Gerakan supremasi sipil, sebagaimana yang diperjuangkan dalam rezim HAM, dianggap tidak berlaku dan dianggap merongrong kewibawaan negara.
Segala yang berbeda pendapat dianggap sebagai musuh negara. Alhasil, berbagai operasi militer dilaksanakan guna menegakkan negara yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila (tentunya versi orde baru) secara konsekuen.
Hal tersebut menjadi legitimasi dilakukannya berbagai operasi militer, misalnya, operasi Militer di Aceh yang dimulai pada 1990 guna memerangi pemberontak.
Faktanya, hingga rezim orde baru tumbang, masalah terkait “pemberontakan” di Aceh tak kunjung juga usai. Malahan terjadi banyak pelanggaran HAM yang membuat warga trauma.
Fakta menariknya, konflik di Aceh selesai di bawah pemerintahan pascareformasi yang tentu secara struktur negara lebih baik menghormati hak asasi manusia warganya (perlu diingat, pascareformasi UUD 1945 diamandemen yang salah satunya dicangkokannya prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam konstitusi).
Adalagi fakta sejarah terkait berbagai operasi militer di Timor-Timor, justru lebih buruk hasilnya. Bukannya “pemberontak” hilang, malahan provinsi Timor-Timur yang “hilang” karena berganti nama menjadi Negara Timor Leste.
Dengan kata lain, operasi militer membawa pintu gerbang untuk pisahnya Timor-Timur dari ibu pertiwi. Bukan malah menyatukan indonesia, sebagaimana tujuan daripada operasi militer itu sendiri.
Begitu pula dengan yang terjadi di Papua, total rezim orde baru telah melakukan sebanyak 15 operasi militer di tanah Papua. Namun, hasilnya bisa dilihat hingga saat ini. Tanah Papua masih menjadi daerah konflik yang banyak ditemukan pelanggaran HAM.
Menanam Padi Tumbuh Ilalang. Begitu lah peribahasa yang tepat kira-kira untuk menanggambarkan hasil daripada berbagai operasi militer yang dilakukan oleh orde baru.
Lalu di akhir tulisan ini, penulis hanya ingin memberikan pertanyaan reflektif, apakah kita masih harus percaya terhadap narasi yang menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan di Papua harus diselesaikan juga dengan kekerasan?
Sekarang kita hanya dapat memilih, terhadap isu kemerdekaan Papua, apakah kita ingin mengikuti langkah pemerintah menyelesaikan konflik di Aceh dengan mengakui khilafnya lalu melakukan pendekatan humanis atau tetap bersikukuh dengan tetap terus melakukan pendekatan militeristik sebagaimana yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat Timor-Timor?
Dalai Lama pernah mengatakan, “Jika mata dibalas mata, maka seluruh dunia akan buta”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.