Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Korupsi, Kuasa, dan Budaya

Kompas.com - 22/02/2023, 10:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMBERITAAN tentang kasus korupsi selalu menjadi salah satu topik sentral media massa di Indonesia. Dari tahun ke tahun kasusnya juga terus menunjukkan peningkatan, baik dari segi jumlah, tersangka, maupun potensi kerugian materil.

Berdasarkan data yang dirilis Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index) tahun 2021, dari 180 negara di dunia, Indonesia berada pada peringkat ke 96 dengan skor 38.

Di sisi lain, data US News 2022 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi ke-30 dari 85 (Kompas/09/12/2022).

Manajer Riset TII, Wawan Suyatmiko mengatakan bahwa meskipun mengalami peningkatan satu angka dibandingkan tahun sebelumnya, faktanya skor Indonesia masih jauh di bawah angka rata-rata IPK global, yaitu 43.

Bahkan untuk negara kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih tertinggal dengan dua negara tetangganya yang memiliki skor di atas angka rata-rata IPK global, seperti Malaysia (48) dan Singapura (85) (Tempo.co, 25/01/2022).

Praktik korupsi dalam sejarah bangsa

Dalam catatan sejarah, praktik korupsi telah berlangsung sejak lama. Wakil Presiden RI pertama Bung Hatta pernah mengatakan bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia.

Di era pra-kemerdekaan bisa dilihat dari kehancuran kerajaan-kerajaan besar nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya, Mataram karena perilaku sebagian besar bangsawannya yang korup (Rahayu, 2009).

Kebiasaan mengambil ‘upeti’ dari rakyat kecil oleh raja-raja Jawa yang ditiru oleh Belanda ketika mengusai nusantara (1800-1942), hingga penindasan penduduk pribumi dalam sistem ‘cultuur stelsel’ atau tanam paksa.

Sementara di era kemerdekaan mulai dari Orde Lama, Orde Baru hingga era Reformasi, maraknya praktik korupsi dapat dilihat dari berbagai kebijakan, undang-undang, sampai pembentukan komisi yang dibuat untuk memberantas praktik korupsi.

Dalam bukunya History of Java, Thomas Stanford Raffles membahas karakter sebagian besar masyarakat Jawa yang digambarkan sebagai yang ‘nrimo’ (pasrah). Sementara yang lainnya memiliki keinginan untuk lebih dihargai, bangsawan yang gemar memupuk harta, dan memelihara abdi dalem yang pada umumnya gemar mencari perhatian dan berperilaku oportunis.

Apa itu korupsi dan dampaknya?

Perilaku koruptif sebenarnya dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari kita. Khoril Basyar (2015) memberikan beberapa contoh, antara lain pelanggaran lalu lintas, pemberian ‘suap’ untuk kelancaran urusan, peraturan yang dibuat untuk kepentingan kelompok tertentu, pemberian tipping untuk petugas pelayanan publik, hingga kebiasaan telat waktu.

Menurut Fockema Andrea (1951) kata ‘korupsi’ berasal dari Bahasa latin, yaitu ‘corruptio’ atau ‘corruptus’ (dalam Webster Student Dictionary, 1960) yang memiliki arti ‘berubah dari yang adil, benar, jujur menjadi kondisi sebaliknya’.

Dikutip dari buku ‘Pendidikan Antikorupsi’ yang diterbitkan Kemenristekdikti, Nasir (2006) menambahkan bahwa kata ‘corruptio’ berasal dari bahasa latin kuno ‘corrumpere’ yang berarti ‘busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat atau disuap’.

Korupsi memiliki dampak penghancuran yang hebat (enormous destructive effects) terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara seperti kemiskinan, lesunya perekonomian dan investasi, kultur organisasi dan politik yang tidak sehat, kriminalitas, matinya demokrasi serta etika sosial politik, tidak berfungsinya peraturan dan perundang-undangan, birokrasi yang rumit, dan masih banyak lagi.

Bagaimana praktik korupsi bisa terjadi?

Secara garis besar terdapat banyak hal yang melatarbelakangi praktik korupsi. Fadjar (2002) menyatakan bahwa terjadinya tindakan korupsi dapat dibedakan menjadi beberapa aspek;

Pertama, bentuk penyalahgunaan kewenangan (mercenary abuse of power). Misalnya, ketika seseorang yang memiliki kewenangan tertentu (umumnya oleh pejabat yang kedudukannya tidak terlalu tinggi) bekerjasama dengan pihak lain untuk melakukan praktik suap dan penggelembungan dana (mark up).

Kedua, discretionary abuse of power atau penyalahgunaan wewenang pejabat yang memiliki kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu yang secara intensional didesain untuk kepentingan tertentu.

Ketiga, ideological abuse of power yang diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dari kelompok atau golongannya.

Biasanya pelaku tipe ini memberikan dukungan kepada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis. Sebagai gantinya ia wajib memberikan kompensasi atau lebih dikenal dengan politik balas budi.

Korupsi tipe ini sebetulnya yang paling berbahaya karena melibatkan banyak orang yang nantinya akan dijanjikan ‘imbalan’.

Tidak hanya itu, korupsi juga dapat terjadi karena faktor internal dan eksternal.

Faktor internal meliputi sifat tamak manusia, gaya hidup konsumtif, dan lemahnya moralitas individu yang dapat ditelusuri dari latar belakang hidupnya.

Sementara faktor eksternal meliputi banyak hal, antara lain:

1. Aspek sosial: kultur masyarakat yang menghargai orang dari kekayaan, dan kurangnya kesadaran masyarakat bahwa korupsi bukan hanya merugikan negara, tapi juga mereka;

2. Aspek politik: kepentingan politik untuk melakukan kontrol publik dan mempertahankan kekuasaan;

3. Aspek hukum: lemahnya penegak hukum;

4. Aspek ekonomi: kebutuhan yang tinggi dengan penghasilan yang tidak sesuai dapat berpotensi tinggi menimbulkan tindakan koruptif;

5. Aspek organisasi: buruknya sistem suatu organisasi sehingga membuka peluang terjadinya korupsi, antara lain absennya sikap keteladanan pemimpin, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai, serta buruknya manajemen suatu organisasi.

Secara teoritis, faktor internal dan eksternal dapat dijelaskan melalui konsep GONE yang digagas oleh Jack Bologne (2006), yang meliputi greedy (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan), exposure (pengungkapan).

Dalam konteks ini, aspek keserakahan dan kebutuhan dikategorikan sebagai faktor internal. Sedangkan kesempatan dan pengungkapan adalah faktor eksternal.

Berdasarkan teori GONE, beberapa kesimpulan dapat ditarik, antara lain:

  1. Orang yang melakukan korupsi pada dasarnya memang memiliki sifat serakah dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya.
  2. Korupsi dapat terjadi karena adanya kebutuhan yang mendesak seperti kebutuhan rumah tangga, pendidikan, atau hutang yang harus segera diselesaikan.
  3. Kedua faktor di atas sangat mungkin terjadi apabila terdapat kesempatan untuk melakukan praktik korupsi.
  4. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi, hal tersebut bisa dikatakan sebagai praktik korupsi apabila terdapat pengungkapan yang melibatkan penegakan hukum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

Nasional
Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Nasional
Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Nasional
Mensos Risma Janjikan 3 Hal kepada Warga Kabupaten Sumba Timur

Mensos Risma Janjikan 3 Hal kepada Warga Kabupaten Sumba Timur

Nasional
SYL Renovasi Rumah Pribadi, tapi Laporannya Rumah Dinas Menteri

SYL Renovasi Rumah Pribadi, tapi Laporannya Rumah Dinas Menteri

Nasional
Jaksa KPK Sebut Nilai Total Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh Capai Rp 62,8 M

Jaksa KPK Sebut Nilai Total Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh Capai Rp 62,8 M

Nasional
Ratas Evaluasi Mudik, Jokowi Minta 'Rest Area' Diperbanyak

Ratas Evaluasi Mudik, Jokowi Minta "Rest Area" Diperbanyak

Nasional
Dugaan TPPU Hakim Gazalba Saleh: Beli Alphard, Kredit Rumah Bareng Wadir RSUD di Jakarta

Dugaan TPPU Hakim Gazalba Saleh: Beli Alphard, Kredit Rumah Bareng Wadir RSUD di Jakarta

Nasional
Anggota Bawaslu Intan Jaya Mengaku Disandera KKB Jelang Pemilu, Tebus Ratusan Juta Rupiah agar Bebas

Anggota Bawaslu Intan Jaya Mengaku Disandera KKB Jelang Pemilu, Tebus Ratusan Juta Rupiah agar Bebas

Nasional
Dalam Sidang MK, KPU Ungkap Kontak Senjata TNI-OPM Jelang Hitung Suara, Satu Warga Sipil Tewas

Dalam Sidang MK, KPU Ungkap Kontak Senjata TNI-OPM Jelang Hitung Suara, Satu Warga Sipil Tewas

Nasional
Sinyal Kuat Eko Patrio Bakal Jadi Menteri Prabowo

Sinyal Kuat Eko Patrio Bakal Jadi Menteri Prabowo

Nasional
Yakin 'Presidential Club' Sudah Didengar Megawati, Gerindra: PDI-P Tidak Keberatan

Yakin "Presidential Club" Sudah Didengar Megawati, Gerindra: PDI-P Tidak Keberatan

Nasional
Taruna STIP Meninggal Dianiaya Senior, Menhub: Kami Sudah Lakukan Upaya Penegakan Hukum

Taruna STIP Meninggal Dianiaya Senior, Menhub: Kami Sudah Lakukan Upaya Penegakan Hukum

Nasional
Gejala Korupsisme Masyarakat

Gejala Korupsisme Masyarakat

Nasional
KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com