Sederet kiprah yang diperankan oleh tokoh-tokoh NU lintas generasi merupakan manifestasi dari keterbukaan serta keluasan cara berpikir dan bertindak organisasi berlambang bola dunia ini.
Dengan lain perkataan bahwa NU sudah menjalankan pengabdian (khidmat) secara global sejak dahulu kala.
Meski demikian, ada saja pihak yang menilai peran NU sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Pada titik ini saya tidak sedang membantah siapapun. Namun kiranya perlu bagi kita untuk menahan diri dari pertanyaan dan pernyataan yang tidak relevan dengan dimensi dan cakupan pengabdian NU dengan ukuran praktis.
Jangan samakan pertanyaan soal efektifitas peran NU dikancah nasional maupun global dengan pertanyaan tentang seberapa efektif asupan makanan untuk mengusir rasa lapar, atau mempertanyakan seberapa efektif minum air untuk memuaskan dahaga.
Menghitung dampak diplomasi perdamaian tokoh NU dipentas dunia memerlukan uji keberlanjutan masa yang ukurannya bisa tidak pasti. Bisa satu dekade, dua dekade, atau bahkan setengah abad.
Bahkan untuk mengukur standar keberhasilan seorang siswa yang dididik selama 12 tahun di bangku sekolah saja memerlukan ukuran waktu lama dan variabel yang kompleks.
Kesuksesan seorang siswa di bangku sekolah tidak menjamin kesuksesan kariernya di masa depan. Yang berlaku bisa jadi sebaliknya, seorang siswa yang biasa-biasa saja alias tidak punya prestasi ketika sekolah justru hidupnya lebih sukses.
Tinggal kesuksesan seperti apa yang kita jadikan standar, apakah kesuksesan materil, atau peran morilnya di tengah publik.
Yang ingin saya katakan ialah semua hal bisa diukur, tergantung instrumen dan patokan nilai seperti apa yang dikehendaki.
Tetapi sekali lagi, mengukur peran suatu entitas sebesar NU khususnya yang terkait dengan dampaknya secara menyeluruh adalah pekerjaan yang melampaui kata sukar.
Meski demikian kita sebagai mahluk yang bernalar bisa menangkap dan merasakan gejala-gejalanya.
Apakah keharmonisan yang kita nikmati di Indonesia datang dengan ujug-ujug, atau karena keberadaan entitas yang bersalin rupa sebagai tangan kreatif yang menopang keharmonisan di tengah kemajemukan Indonesia?
Kita juga bisa melakukan simulasi-simulasi, seandainya tidak ada NU yang mengasuh dan mewakili puluhan juta mayoritas umat di Indonesia, apakah Pancasila bisa bertahan di antara keberadaan kelompok yang terang-terangan menentang dan ingin mengubahnya?
Apakah Indonesia tetap seperti ini (bersatu) ataukah justru terjebak perang saudara seperti yang dialami banyak negara di di Timur Tengah?
Simulasi juga bisa kita persempit dalam ruang keseharian kita, apakah ketiadaan NU menjamin diskursus keagaman di Tanah Air, misalnya, tentang bab fiqih bisa disajikan secara luas dengan selipan guyon atau justru berlangsung kaku dengan tafsiran teks secara hitam-putih.
Yakinilah bahwa semua ketenteraman dan warna hidup yang kita rasakan dalam keseharian dan lingkungan yang lebih luas sebagai bangsa, adalah anugerah Allah SWT melalui hamba-hambanya dan organisasi bikinan hamba-hambanya, termasuk yang beberapa hari lalu melangsungkan puncak resepsi satu abad di Sidoarjo.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.