Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkaca dari Kasus Substansi Putusan MK yang Berubah, Anggota IKAHI Dorong Ada PK di Revisi UU MK

Kompas.com - 17/02/2023, 15:32 WIB
Irfan Kamil,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Binsar Gultom mendukung rencana revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) untuk segera dilakukan.

Binsar Gultom yang menjabat sebagai Hakim Tinggi di PT DKI Jakarta ini mengusulkan adanya upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali (PK) dalam kesempatan revisi UU MK tersebut.

"Upaya hukum PK ini sangat penting diberlakukan untuk mengatasi jika ada putusan MK yang bermasalah karena misalnya salah penerapan hukum," ujar Binsar Gultom saat dihubungi Kompas.com, Jumat (17/2/2023).

"Atau adanya tumpang tindih di dalam pertimbangan hukum yang satu dengan yang lain atau diduga memiliki ketidaksempurnaan," kata Binsar Gultom lagi.

Baca juga: DPR Usulkan Revisi UU MK, Ketua MK Anwar Usman: Kita Tidak Boleh Berkomentar Ya

Binsar Gultom pun mencontohkan adanya kasus yang menyeret sembilan hakim konstitusi ke ranah hukum atas dugaan adanya perubahan substansi putusan perkara. 

Padahal, kata dia, seharusnya hakim MK memiliki kekebalan di dalam melaksanakan tugas pokoknya, terkecuali diduga melakukan pelanggaran hukum seperti menerima suap.

Oleh sebab itu, hakim yang pernah memimpin sidang kasus kopi sianida ini menilai, perlu adanya upaya hukum PK untuk menguji putusan yang sudah diketuk di MK.

"Karena status putusan MK selama ini bersifat final and binding atau bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada lagi ruang hukum untuk mengujinya," kata dosen pasca sarjana Universitas Esa Unggul Jakarta dan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan itu.

Baca juga: Revisi UU MK Dinilai Tak Urgen, DPR Dicurigai Hendak Usik Independensi Hakim

"Diharapkan jika sudah ada upaya hukum luar biasa PK di MK, maka ke depan jika ada putusan hakim yang bermasalah atau dianggap publik belum memiliki rasa keadilan hukum dan keadilan masyarakat sudah dapat diselesaikan ditingkat PK," papar dia.

Diberitakan sebelummnya, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan setuju agar UU MK direvisi kembali.

Hal itu dinyatakan Mahfud saat rapat kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023). Mahfud mengatakan bahwa pemerintah sebenarnya tidak memiliki agenda untuk kembali melakukan revisi UU MK itu.

"Tetapi karena DPR berdasarkan hak dan kewenangan konstitusionalnya telah mengajukan usul inisiatif perubahan UU tersebut dan ini sudah sesuai prosedur dan persyaratan yang ditentukan aturan perundang-undangan, maka pemerintah akan menggunakan kesempatan ini untuk menawarkan alternatif melalui DIM (daftar inventarisasi masalah)," kata Mahfud menanggapi usulan Komisi III tersebut.

Baca juga: 4 Poin UU MK yang Bakal Direvisi: Syarat Usia hingga Evaluasi Hakim Konstitusi

Mahfud menyebutkan, pemerintah pernah mengundang akademisi untuk membahas kembali revisi UU MK itu. akan tetapi, akademisi meminta pemerintah menolak usulan DPR.

"Menurut pemerintah upaya perbaikan dari keadaan yang sekarang. Artinya pemerintah menyetujui usul ini untuk dibahas," tutur Mahfud.

Ia pun berharap agar revisi UU ini dapat segera dilakukan. Selepas rapat kerja, Rabu kemarin, Mahfud menampik bahwa revisi UU itu membuat hakim tidak independen.

"Enggak, justru ini mau memperkuat hakim kok," kata Mahfud.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Habiburokhman mengusulkan agar UU MK direvisi.

Dalam rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi III Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul itu, Habiburokhman mengungkapkan sejumlah alasan pentingnya revisi ini dilakukan untuk keempat kalinya.

Baca juga: Mahfud Sebut Usulan Revisi UU MK untuk Memperkuat Hakim

"RUU ini merupakan perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, perubahan undang-undang ini dilatarbelakangi karena terdapat beberapa ketentuan yang dibatalkan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVII/2020 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022," kata Habiburokhman membacakan pertimbangan.

UU MK terakhir kali direvisi pada 2020. Menurut Habiburokhman, ketentuan di dalam UU ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kehidupan ketatanegaraan.

"Menyesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan," kata dia.

Adapun beberapa hal yang dinilai perlu direvisi seperti batas usia minimal hakim konstitusi. Kemudian, soal evaluasi hakim konstitusi serta unsur keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

"Penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi," ujar Habiburokhman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com