SUATU ketika rombongan anggota Dewan tengah melakukan kunjungan ke suatu daerah. Satu bus yang ditumpangi para anggota Dewan mengalami kecelakaan tunggal dan masuk jurang akibat sopir bus yang tidak menguasai medan.
Tidak lama setelah kejadian, warga dengan sigap melakukan pertolongan dan dengan cekatan pula menggali lubang serta mengubur massal rombongan anggota Dewan yang terhormat itu.
Polisi yang datang terlambat, langsung menginterogasi warga yang terlibat dalam aksi pertolongan tersebut. Polisi heran dengan aksi mengubur massal itu.
“Masak tidak ada yang selamat? Kok semuanya dikubur?" tanya polisi terheran-heran.
Warga dengan serempak menjawab, sebenarnya ada korban yang mengaku masih hidup. Hanya saja, selama ini warga kadung tidak percaya dengan omongan anggota Dewan. Kerap berjanji tetapi lebih sering mengingkari. Sering mengeluarkan statement, hanya saja kerap “asbun” alias alias bunyi.
Cerita fiktif di atas kerap dijadikan jokes di warung-warung kopi di Pontianak, Kotabaru, Tarakan, Surabaya, hingga Depok. Cerita itu menjadi pengantar minum kopi sembari membincangkan kesulitan hidup para penikmat kopi.
Sebetulnya hal itu juga tidak jauh berbeda dengan pemahaman masyarakat. Centre for Strategic and International Studies (CSIS), wadah pemikir kebijakan, pernah merilis data mengenai berbagai lembaga negara yang paling tidak dipercaya oleh anak muda di 2022. Sebagai peringkat pertama, lembaga yang dianggap “paling ngibul” adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan angka 42,5 persen. Berikutnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan 37,2 persen, disusul Polri 31,1 persen dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 27,5 persen.
Baca juga: Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap DPR Rendah, Puan: Tantangan Bagi Kami
Publik merespon positif ketika ada anggota DPR yang berpihak dan membela nasib konsumen Meikarta yang merasa telah ditipu “habis-habisan” oleh pengembang. Para anggota Dewan tersebut bahkan hendak memaksa pemilik kelompok usaha besar yang memayungi Meikarta untuk datang ke DPR. Tentunya konsumen Meikarta berharap upaya DPR tersebut tidak berakhir “masuk angin” atau hilang lenyap di kemudian hari.
Publik juga merasa DPR adalah sandaran harapan akan keadilan ketika ada anggota Dewan dengan lantang membela mahasiswa FISIP UI mendiang Muhammad Hasya Athallah. Hasya dijadikan tersangka oleh Polda Metro Jaya walau nyatanya malah menjadi korban tewas tabrakan dari pensiunan perwira Polri. Kini status tersangka Hasya sudah dicabut usai publik, media, dan parlemen mengkritik langkah sembrono kepolisan.
Sebaliknya, publik merasa bingung dan jengah ketika ada anggota Dewan bahkan salah satu wakil ketua DPR mengeluarkan pernyataan politik yang “menyengat” di tahun politik ini. Tanpa melalui kajian ilmiah, kajian publik, dan serangkaian kajian lainnya, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar menyebut bahwa sebaiknya pemilihan langsung gubernur ditiadakan saja.
Tidak itu saja, jabatan gubernur juga mubazir. Muhaimin yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menilai jabatan gubernur memungkinkan dihapus karena tidak terlalu berfungsi dalam tatanan pemerintah.
Tidak itu saja, pemilu sebaiknya dibatasi pada pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan bupati (pilpub) dan pemilihan walikota (pilwakot) saja (Kompas.com, 02/02/2023). Muhaimin begitu “kekeh” mengapa jabatan gubernur tidak perlu ada mengingat gubernur hanya bertugas menghubungkan pemerintah pusat dengan pemerintah kabupaten dan kota. Padahal, anggaran untuk jabatan gubernur sangat terlalu besar.
Sudah anggarannya besar, fungsi gubernur sudah terlampau tidak efektif dan malah tidak langsung mempercepat. Ketua Umum PKB yang bertekad maju Capres di Pilpres 2024 itu beranggapan sosok gubernur tidak lagi didengar oleh para bupati karena mereka lebih mengandalkan peran menteri.
Ketidakefektifan itu membuat posisi gubernur tidak lebih sebagai administrator belaka. Kalau sudah selevel administrator, menurut Cak Imin tentunya tidak usah dipilih langsung dan kalau perlu tidak ada jabatan gubernur. Cukup ditangani pejabat selevel Dirjen atau direktur dari Kementerian Dalam Neger.
Saya hanya berpikir sederhana saja – tentunya tidak setinggi pemikiran Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar – dengan mengandaikan Jawa Tengah tidak memiliki gubernur. Jika para bupati bisa "tembak langsung” ke menteri pekerjaan umum dan perumahan rakyat hanya untuk memperjuangkan pembangunan tanggul laut utara Jawa maka Pekalongan, Tegal, Kendal, Jepara, Semarang, Demak dan lain-lain akan saling berebut mendapatkan proyek nasional.
Persoalan tanggul laut bukan saja problem besar yang dihadapi daerah-daerah di Jawa Tengah di pesisir Pantai Utara Jawa, bagaimana dengan daerah-daerah di Jawa Tengah lainnnya yang “berhadapan” dengan pesisir Pantai Selatan?
Baca juga: Komisi II Heran Muhaimin Ingin Hapus Jabatan Gubernur tapi PKB Setuju 4 Provinsi Baru Papua
Sentra-sentra pertanian di Jawa Tengah seperti Brebes, Wonosobo, Magelang, Temanggung, Kebumen, Banjarnegara melalui para bupatinya akan saling “berdesakan” ke menteri pertanian untuk mendapatkan jatah pupuk bersubsidi yang lebih banyak. Padahal masalah pertanian bukan hanya masalah pupuk saja, tetapi juga terkait dengan pengairan, penyediaan bibit, pemasaran hasil panen dan sebagainya.
Dengan pola seperti itu, walau yang saya contohkan baru dua urusan dan di satu provinsi saja, maka para bupati akan “keliyengan” dan menteri-menteri juga akan “kelimpungan” dengan beban kerja yang meningkat dan tidak ada koordinasi yang terintegrasi. Dengan struktur pemerintahan daerah yang mencakup kabupaten dan kota maka penghapusan gubernur akan memperlebar jarak rentang kendali antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Beban pemerintah pusat akan bertambah dan efektivitas pengawasan pemerintah pun semakin lemah. Dengan bentang wilayah Indonesia yang sangat luas dan kini memiliki 38 provinsi dengan jumlah penduduk yang banyak pula, maka “mengurus” wilayah daerah berikut kesejahteraan warganya tidak cukup hanya diserahkan kepada pemerintah pusat, para bupati dan walikota.
Persoalan di lapangan jauh lebih kompleks ketimbang sekedar usulan dari gedung parlemen Senayan yang dingin. Saya yang hanya membantu Gubernur Kalimantan Utara beberapa waktu lalu saja mengakui tugas gubernur sangatlah tidak mudah. Walau Kalimantan Utara hanya terdiri dari satu kota yakni Tarakan dan dengan empat kabupaten (Nunukan, Malinau, Bulungan, dan Tana Tidung) tetapi persoalan infrastruktur di perbatasan dengan Malaysia hingga kini belum tuntas.
Luas wilayah Kalimantan Utara mencapai 75.467,70 kilometer persegi atau lebih dari dua kali luas wilayah Jawa Tengah yang 32.800,69 kilometer persegi. Kalimantan Utara memiliki 196 pulau sementara Jawa Tengah tercatat mempunyai 71 pulau.
Panjang jalan perbatasan yang dimiliki Kalimantan Utara mencapai 992,35 kilometer, di antaranya jalan paralel sepanjang 614,55 kilometer dan akses perbatasan 377,8 kilometer. Puluhan kilometer lagi belum tembus dengan medan yang sangat sulit dilalui kendaraan bahkan untuk berjalan kaki.
Warga di Dataran Tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan yang selama ini mengandalkan kebutuhan pokok dari Sarawak, Malaysia mengaku kesulitan dengan aturan baru soal perdagangan tradisonal. Warga perbatasan menolak aturan perdagangan lewat skema koperasi yang dianggap membuka peluang dugaan monopoli harga (Kompas.com, 9 Juli 2022).
Tentu saja cara-cara penyelesaian persoalan perdagangan adat tidak bisa mengandalkan hanya dengan koordinasi antara bupati dengan menteri atau selevel dirjen. Gubernur sangat berperan dalam hal ini karena terkait dengan kebijakan pejabat lama dan perlu koordinasi dengan pemerintah jiran.
Ada hal yang dilupakan Muhaimin Iskandar, yaitu jabatan gubernur selama ini menjadi wadah penyemaian calon pemimpin negeri. Tiga gubernur saat ini digadang-gadangkan layak menjadi pemimpin nasional yaitu Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil. Presiden Joko Widodo pun dulunya adalahnya Gubernur DKI.
Demikian juga dengan prestasi bupati atau walikota yang “moncer’, ada yang meningkat karirnya menjadi gubernur atau malah dipercaya sebagai pembantu presiden. Tri Rismaharini, Abdullah Azwar Anas, dan Hendrar Prihadi yang membantu Jokowi saat ini, dulunya mereka adalah para walikota dan bupati.
Demikian juga politisi yang dulunya anggota DPR, beralih ladang pengabdiannya sebagai gubernur seperti Wayan Koster, Olly Dondokambey, dan Ganjar Pranowo. Atau dari menteri beralih memilih posisi gubernur seperti Khofifah Indar Parawansa.
Harus diakui dalam praktek demokrasi elektoral sekarang ini, jabatan gubernur adalah sumber rekrutmen sirkulasi elite nasional. Gubernur adalah posisi untuk mempromosikan kinerja dan prestasi kepemimpinan wilayah menuju jabatan politik di tingkat nasional.
Untuk meraih hal iru, tentu demokrasi menghendaki adanya kompetisi yang berjalan secara fair. Kompetisi yang fair play bisa terlaksana jika semua pemangku kepentingan meletakkan kepentingan kebangsaan di atas kepentingan partai apalagi perorangan.
Alih-alih menghapus pemilihan gubernur secara langsung terlebih lagi menghapus jabatan gubernur, akan lebih elok jika dibenahi terlebih dahulu aturan-aturan yang ada seperti revisi Undang-Undang (UU) Pemerintahan Daerah. Untuk tingkatan yang lebih tinggi lagi, upaya untuk menghapus pemilihan gubernur secara langsung atau penghapusan jabatan gubernur butuh reformasi hukum yang luar biasa, yakni mengubah konstitusi yang paling puncak yakni UUD 1945.
Mengingat konsentrasi kenegaraan dan kebangsaan kita saat ini tengah fokus mempersiapkan pesta demokrasi yang bernama pemilu serentak, alangkah bijak jika anggota Dewan kita lebih memprioritaskan pernyataan yang produktif saat memberi pendapat. Jika alasan penghematan biaya yang dijadikan alasan untuk menghapus jabatan gubernur, tentu dengan padanan serupa kita juga bisa melakukan penghematan “besar-besaran” di tata pemerintahan.
Apakah kita masih perlu memiliki Wakil Ketua DPR hingga 4 orang? Apakah jabatan Wakil Ketua MPR juga masih kita perlukan hingga mencapai 9 orang? Apakah Ketua DPD juga perlu memiliki wakil sebanyak 3 orang?
“Sekarang jelas bahwa tugas gubernur itu mengayomi rakyatnya, mengurus dan peduli kepada rakyatnya dari lahir sampai mati” – Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta 1966 – 1977).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.