Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Etos Kerja, Nasionalisme, dan Kemakmuran Bangsa

Kompas.com - 09/02/2023, 16:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ETOS kerja, nasionalisme, dan kemakmuran bangsa dalah tiga isu terpisah yang sangat jarang dibahas secara bersamaan. Padahal, ketiga isu tersebut memiliki kaitan yang erat, karena yang satu mengandaikan atau pun menguatkan yang lain.

Etos kerja’ lahir dari komunitas agama

Rujukan utama wacana tentang ‘etos kerja’ adalah gagasan sosiolog Max Weber yang dituangkan melalui buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.

Bahkan, tesis Weber tentang "etos kerja Protestan" begitu populer di kalangan sosiolog, dan diceritakan secara rinci di setiap buku teks Pengantar Ekonomi dan Bisnis.

Menurut Weber, kaum Protestan mendominasi ekonomi kapitalis Barat karena dari semua agama di dunia hanya Protestantisme yang memberikan visi moral yang membuat orang membatasi konsumsi material mereka sambil mencari kekayaan dengan penuh semangat.

Weber berargumen bahwa sebelum Reformasi pengekangan konsumsi selalu dikaitkan dengan asketisme. Oleh karena itu, kata dia, Gereja Katolik mengutuk usaha dagang dan bisnis.

Weber juga mengklaim bahwa etos kerja Protestan tampil untuk menciptakan budaya berinvestasi dan mengejar keuntungan lebih besar yang lazim disebut kapitalisme.

Namun, ketika mengkaji kembali teori Max Weber, Fernand Braudel mengatakan bahwa “Teori Weber itu salah. Namun, sayangnya, semua sejarawan tak mampu menyingkirkan teori yang lemah ini [etika Protestan].”

Merujuk ke sejumlah penelitian ilmiah, Braudel mengatakan klaim Weber bahwa etika Protestan sebagai sumber dari kapitalisme adalah sangat naif. Sebab, kapitalisme telah berkembang sepenuhnya di Eropa, sejak berabad-abad lalu, jauh sebelum kelahiran Protestanisme.

Menurut Braudel, kapitalisme adalah penemuan yang sangat Katolik karena praktik pasar bebas, pengakuan atas hak milik dan tenaga kerja bebas pertama kali muncul di perkebunan monastik Katolik pada abad ke-9.

Memang, pada mulanya banyak Bapa Gereja Katolik berbagi pandangan umum di dunia Yunani-Romawi bahwa perdagangan adalah kegiatan yang merendahkan martabat dan mengandung risiko moral yang besar karena sangat sulit untuk menghindari dosa dalam jual beli.

Namun, segera setelah pertobatan Constantinus pada tahun 312, sikap terhadap perdagangan mulai melunak.

Hal itu membuat Santo Agustinus mengajarkan bahwa kejahatan tidak melekat dalam perdagangan, tetapi seperti halnya pekerjaan apa pun, tergantung pada individu untuk hidup dengan benar.

Gagasan Agustinus membuat Gereja Katolik terlibat secara mendalam pada kelahiran kapitalisme. Bentuk awal kapitalisme muncul sekitar abad ke-9 di perkebunan besar milik ordo monastik.

Mereka mulai mengkhususkan pada tanaman atau produk tertentu dan menjualnya untuk mendapatkan keuntungan. Mereka juga mulai menginvestasikan kembali keuntungan mereka untuk meningkatkan kapasitas produktif mereka.

Ketika pendapatan mereka meningkat pesat, biara berperan menjadi bank, memberikan pinjaman kepada kaum bangsawan, termasuk membiayai para Tentara Salib.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com