Mengritik dan menentang, tidak melulu diterjemahkan secara faktual terhadap kebebasan, karena komunikasi demokrasi yang sehat tidak membutuhkan otoritas yang menguasai wacana.
Maka pers harus hadir dalam kebutuhan ini, untuk kebutuhan kebebasan publik menerima informasi.
Munculnya sejumlah pers dari afiliasi politik, ataupun pers dari konglomerasi media yang menjadi pelaku politik, menandakan secara substansif pers masih gagap menyerap makrifat kebebasan.
Sehingga ada kekuatan otoritas yang menguasai wacana, dan lambat laun membuat komuniasi demokrasi tidak lagi sehat.
Keleluasaan pers menghirup kebebasan di masa kini, ketimbang era 1920-an, jauh lebih kompleksitas dan sekaligus dilematis.
Ketika era 1920-an, pers berpolitik –bahkan wartawan pun aktivis politik, publik masih bisa turut serta meruntuhkan hegemoni kekuasaan pemerintah kolonialisme.
Tapi kini? Betapa tidak mudah.
Kini demokrasi menjadi sistem yang sama sekali beda dengan sistem pemerintahan kolonial. Sistem ini pula menyimpan kontingensinya, bisa saja demokratis dalam sistem namun begitu hegemoni dalam kekuasaan seperti halnya pemerintahan kolonial.
Pers sangat tidak mudah hidup dalam situasi zaman yang begini –tapi inilah zaman yang harus dihadapi pers.
Dalam keadaan yang semacam ini pula publik berpihak pada kebebasan menyampaikan berita, dalam kontingensi pula. Dengan begitu, kini publik pengertiannya tidak bisa tunggal seperti halnya ketika era 1920-an pers turut berpolitik.
Oleh karena itu bisa saja sebagian publik turut berpihak pada kebebasan pers yang berpolitik, dan sebagian lagi berpihak pada pers yang tidak boleh berpolitik.
Maka dalam keadaan yang penuh kentingensi ini pula, pers mengalami tantangan hebat untuk merumuskan dirinya sebagai pihak yang tidak “terkontaminasi” politik.
HPN ini menjadi momentum yang sangat relevan menguatkan kaidah “merumuskan” diri pers yang secara tegas dan pasti tidak boleh berpolitik.
Tapi ada yang ironis, ketika pers tidak bisa merusmuskan dirinya dalam kaidah makrifat kebebasan, selalu menujuk hidung pihak lain yang lebih panjang. Dan kita tahu, hidung yang semakin lama semakin memanjang, dalam cerita Pinokio, adalah pembohong.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.