Sedangkan pers nasional melihat kekuasaan pemerintah kolonial, sangat membelenggu kebebasan bangsa Indonesia.
Maka di Medan pada tahun 1910 pers nasional bermunculan, yang diterbitkan dan dicetak oleh perusahaan pribumi, antara lain tokohnya adalah Djamaluddin Adinegoro.
Pers pada era ini “membebaskan” publik dari belenggu hegemoni kekuasaan kolonialisme, antara lain dengan menyuguhkan berita-berita yang demikian kritis terhadap pemerintahan kolonial.
Arus kesadaran ini tidak bisa dibendung. Maka dasarwarsa berikutnya, pada tahun 1920-an, jumlah surat kabar meningkat pesat. Pertumbuhan ini berbanding lurus dengan sangat kuat kaitannya wartawan menjadi aktivis politik.
Selain itu insan pers juga berkewajiban menyampaikan berita-berita yang membiakan sikap nasilonalisme. Di sini, wartawan sebagai aktivitas politik langsung “kerja nyata” membangun perlawanan rakyat terhadap penjajah.
Lantas pasca-17 Agustus 1945 pun, peranan itu mengukuhkan kedudukan dan peranan wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategik sendiri dalam upaya berlanjut untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Sampailah kemudian “Aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia memperoleh wadah dan wahana yang berlingkup nasional pada tanggal 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),” sebagaimana dijelaskan Sekilas Sejarah Pers Nasional (PWI, 16 Jul 2019).
Pada tanggal 9 Februari itulah yang kemudian saban tahun bangsa ini rayakan sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Dan perayaan HPN tahun ini bertepatan dengan tahun politik, di mana bersamaan pula sebagai tahun “godaan” terhadap pers untuk berpolitik.
Bilamana era tahun 1920-an, wartawan atau pers sepertinya “wajib” berpolitik guna membangun perjuangan rakyat melawan penjajah, pertanyaan kini: masihkah relevan wartawan atau pers berpolitik?
Para insan pers boleh jadi tidak satu hal memberi jawaban terhadapan pertenyaan tersebut. Namun, satu hal pasti: masa kini pers tidak bisa selamanya indepen dan bisa mendongak terhadap otoritas pemodal media yang juga pelaku politik.
Ada pers yang tetap independen, tentulah ia sudah makrifat terhadap kebebasannya. Soalnya kemudian, berapa jumlahnya pers yang sudah makrifat terhadap kebebasannya itu?
Makrifat kebebasan pada pers maknanya adalah mempunyai otoritas, dan ia tak lunglai urat nadi suplai materinya dipotong sekalipun.
Dan ia tidak binasa dalam kemampuannya mengelola kebebasan, serta ia masih tetap punya “roh” kebebasan walau dimodali konglomerasi media yang berpolitik. Itulah makrifat pers.
Namun makrifat semacam ini sulit diraih, maka pers lebih banyak setuju dalam pencarian kebebasan jurnalisme secara faktual.
Dan, sebagaimana disuarakan George Orwell (1903-1950), "Kebebasan pers, berarti kebebasan untuk mengritik dan menentang," ditempuh secara faktual pula.