Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fathurrohman

Analis Kejahatan Narkotika

Antisipasi Dini Krisis Narkoba Fentanil

Kompas.com - 06/02/2023, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEORANG teman yang tinggal di County Riverside, California, Amerika Serikat mengirimkan foto potongan koran lokal terkait operasi penggerebekan yang dilakukan oleh US DEA di dekat daerah tempat tinggalnya, tepatnya di Kota Fontana. Sekitar 1,6 ton sabu disita oleh petugas berwenang.

Jika dirupiahkan dengan harga pasar di Jakarta (sekitar Rp 1 juta per gram), maka Rp 1,6 triliun dapat diraih oleh para bandar narkoba di kelas menengah.

Sementara untuk kawasan Los Angeles, DEA mengklaim barang bukti tersebut mencapai harga 33 juta dollar atau ‘hanya’ sekitar Rp 500 miliar.

Harga tersebut kemungkinan berada di level pemasok. Di level pengguna, harga bisa meningkat dua atau tiga kali lipat.

Teman saya yang sudah puluhan tahun tinggal di Amerika dan berprofesi sebagai perawat juga menyampaikan jika belakangan ini di Amerika sedang dalam krisis fentanil.

Banyak warga yang overdosis karena penyalahgunaan fentanil yang tidak terukur. Fentanil adalah jenis narkoba selain sabu yang juga marak di sana.

Seperti yang dikeluhkan oleh teman yang berasal dari Cilacap tersebut, bahan utama fentanil berasal dari Tiongkok.

Otoritas di Amerika menyebutkan, farmasi fentanil dipasok dari Tiongkok lalu diolah dan diproduksi menjadi opioid sintetik oleh kartel narkoba Meksiko.

Overdosis analgesik atau pereda nyeri ekstra kuat ini memang telah menjadi penyebab utama kematian anak muda di Amerika sejak 2019 dan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Situasi tersebut pula yang membuat Amerika semakin murka dengan para kartel, khususnya Sinaloa dan CJNG yang dituding sebagai pemasok fentanil.

Pemerintah Amerika membuat berbagai langkah untuk mengatasi situasi epidemi fentanil tersebut seperti yang dirilis oleh Congressional Research Service, lembaga non-partisan yang memberikan hasil penelitian dan analisis kepada komite dan Anggota DPR dan Senat Amerika Serikat. Termasuk menyediakan payung hukumnya.

Kebijakan tersebut terfokus pada upaya pengendalian pengiriman fentanil atau prekursornya ke Amerika dan ke negara lain yang pada akhirnya diselundupkan ke Amerika.

Yang lebih menarik adalah pemerintah Amerika secara serius melakukan penelusuran transaksi keuangan dan menyitanya baik di dalam atau di luar negeri.

Namun, jumlah warga Amerika yang overdosis terus meningkat. Amerika tampak kewalahan. Persis seperti cerita teman saya yang tinggal di daerah California.

Kota Los Angeles dan sekitarnya adalah daerah yang paling terdampak atas peredaran gelap penguat obat bius tersebut.

Keruwetan epidemi fentanil

Perumusan kebijakan Amerika tampaknya tidak cukup hanya dengan pendekatan mereduksi pasokan zat yang efek negatifnya dapat mencapai hingga seratus kali lebih kuat dari morfin. Persoalan obat jenis opioid ini berlipat karena obat ini tidak sepenuhnya ilegal.

Penggunaan legal dengan resep khusus dokter kerap kali juga dibarengi dengan perilaku tidak bertanggung jawab seperti penggunaan resep palsu, manipulasi komposisi obat, atau penyelundupan zat tersebut dari jalur distribusi.

Selain itu, sindikat jaringan narkotika yang beroperasi di Amerika Serikat sadar bahwa fentanil adalah obat pereda rasa sakit yang maha ampuh dan dibutuhkan oleh warga di sana. Fentanil adalah obat primer bagi pasien tertentu karena efek instannya.

Penggunaan fentanil yang diawasi secara ketat dan tidak mudah untuk mendapatkan resep legalnya adalah peluang tersendiri bagi sindikat. Mereka dapat menjadi penyedia dengan harga yang lebih murah.

Bagi para pecandu opioid, fentanil adalah solusi jangka pendek ketika dalam kondisi sakau. Pasar yang terbentuk inilah yang dimanfaatkan para pencari uang yang tidak bermoral seperti kartel narkoba.

Dengan tentakel yang sudah mapan, sindikat beroperasi di jalanan Amerika untuk menjajakan fentanil. Tentu saja kadar fentanil tidak terukur dan menyebabkan kematian pagi penggunanya.

Dalam periode antara Juli 2021 hingga Juni 2022, pemerintah merilis sekitar 73.000 kematian overdosis akibat zat ini.

Belum lagi, saat ini, pemerintah Amerika Serikat tidak selalu mulus bekerja sama dengan pemerintah Tiongkok, yang ditengarai sebagai sumber penyedia sediaan obat fentanil.

Ketegangan hubungan akibat isu HAM etnis Uighur atau dukungan Amerika Serikat terhadap wilayah Taiwan berdampak terhadap kebijakan Tiongkok dalam kerja sama mengendalikan persoalan narkoba, termasuk narkoba fentanil.

Antisipasi dini

Beruntungnya untuk Indonesia kasus ini tidak pernah atau belum ditemukan di permukaan. Namun, Indonesia tetap harus waspada karena penguat obat bius yang sangat keras ini juga beredar di negara tetangga, Australia.

Tahun lalu, laman resmi kepolisian Australia merilis salah satu temuan pengiriman sediaan murni fentanil sebanyak 11 kg. Padahal, 2 mg atau setara dengan berat dua butir garam saja dapat berakibat fatal bagi penggunanya.

Seperti diketahui, Indonesia diibaratkan halaman belakang bagi warga Australia. Mereka kerap berkunjung ke Indonesia karena jarak tempuh yang tidak terlalu jauh. Pulau Bali menjadi rumah kedua bagi wisatawan Australia.

Benang merah ini salah satu sinyal bahwa fentanil adalah zat yang mungkin masuk ke Indonesia. Selain itu, wisatawan asing dari Eropa dan Amerika yang notabene banyak ditemukan masalah dengan narkoba fentanil juga kerap berkunjung ke Bali.

Bali dapat menjadi hub peredaran narkoba yang ada di Eropa, Australia, atau Amerika. Warga negara asing kerap ditangkap di Pulau Dewata tersebut dengan barang bukti heroin, morfin, atau kokain.

Seperti pada September tahun lalu, BNNP Bali dan Bea Cukai setempat mengamankan seorang warga Australia yang menyelundupkan heroin dengan cara disembunyikan di dalam anus.

Heroin dan fentanil adalah zat yang irisan efek serupa, penenang, dan penghilang rasa sakit.
Karena itu, antisipasi dini adalah jalan keluar agar kita tidak gumun ketika ditemukan narkoba mematikan tersebut.

Seperti harapan seorang teman di Pusat Laboratorium Narkotika BNN, jangan sampai narkoba yang efeknya langsung dirasa dengan ukuran butiran debu, 2 mg saja ditemukan di Indonesia.

Menurut dia, para penyidik atau petugas di lapangan juga harus memberikan perhatian ketika ditemukan serbuk putih.

Tidak semua serbuk putih adalah methamphetamine atau heroin, fentanil pun berwarna putih. Kehati-hatian diperlukan agar serbuk penyebab overdosis tersebut tidak terkonsumsi secara tidak sengaja oleh petugas di lapangan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com