JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu faktor yang menjadi penyumbang penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 adalah Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide atau risiko politik dalam sebuah negara.
Menurut Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko, risiko politik yang dimaksud meliputi korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor impor, serta hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis.
Wawan menyatakan, skor PRS Indonesia pada 2022 turun menjadi 35 dari 48 pada 2021.
“Itu turut menyumbang penurunan CPI kita dari 38 ke 34 tahun ini,” kata Wawan dalam jumpa pers peluncuran "Corruption Perceptions Index 2022" di Jakarta Pusat, Selasa (31/1/2023).
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 Merosot 4 Poin Jadi 34
Menurut Wawan, saat ini pemerintah, DPR, partai politik, pelaku usaha, masyarakat sipil, dan lainnya dihadapkan dengan pekerjaan rumah (PR) agar mendongkrak PRS meningkat.
Merosotnya PRS ini menunjukkan bahwa risiko politik merosot paling tajam dibanding indikator lainnya.
“Artinya para pelaku usaha sepanjang 2022 itu menghadapi risiko politik dalam berusaha di Indonesia,” ujar Wawan.
Baca juga: Deputi Pencegahan KPK Kaget Setengah Mati Tahu Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Merosot
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, yang turut hadir dalam kegiatan itu turut menanggapi tentang penurunan skor risiko politik dalam IPK Indonesia pada 2022.
Pahala mengatakan, poin PRS Indonesia pernah mencapai 58, kemudian kembali turun hampir 50 persen.
Dengan penurunan poin PRS itu, kata Pahala, maka tingkat risiko korupsi dalam sistem politik di Indonesia tinggi dan membuat pemodal enggan menanamkan uangnya.
“Siapa yang datang ke Indonesia kalau country risk-nya sebegitu tinggi? Pasti investor yang nekat,” kata Pahala.
Baca juga: Indeks Korupsi Indonesia Turun, KPK: Harus Lakukan Terobosan
Pahala menuturkan, sejak 2014, skor IPK Indonesia tidak pernah melewati angka 40.
KPK lantas meminta adanya terobosan agar riset IPK tidak hanya menjadi ritual tahunan yang sibuk dibahas dalam beberapa hari, namun setelah itu dilupakan.
“Kalau begini terus percayalah enggak akan lewat barrier 40,” ujar Pahala.
(Penulis : Syakirun Ni'am | Editor : Icha Rastika, Bagus Santosa)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.