Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Lembaga Peradilan 'Dihantui' Gerilya yang Mengintervensi Vonis Ferdy Sambo...

Kompas.com - 23/01/2023, 10:49 WIB
Singgih Wiryono,
Bagus Santosa

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kamis (19/1/2023), pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyatakan, dirinya mencium adanya "gerakan bawah tanah" yang mengintervensi vonis terdakwa kasus pembunuhah berencana Brigadir J, Ferdy Sambo.

Ada jenderal polisi bintang satu yang katanya bergerilya, meminta eks Kadiv Propam itu dihukum ringan.

Baca juga: MA Belum Tahu Ada Gerakan Bawah Tanah yang Pengaruhi Putusan Ferdy Sambo

Gerakan gerilya itu tak hanya satu kelompok yang meminta agar hukuman Sambo diringankan, tapi ada juga kelompok yang berharap Sambo dihukum berat.

"Saya sudah mendengar ada gerakan-gerakan yang minta, memesan, putusan Sambo itu dengan huruf, ada juga yang meminta dengan angka," kata Mahfud.

"Ada yang bergerilya, ada yang ingin Sambo dibebaskan, ada yang ingin Sambo dihukum, kan begitu. Tapi kita bisa amankan itu, di kejaksaan, saya pastikan kejaksaan independen," tutur Mahfud.

PN Jakarta Selatan tidak mengetahui adanya "gerakan bawah tanah"

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan tak mengetahui apa yang disebut "gerakan bawah tanah" Mahfud MD.

Pejabat Humas PN Jakarta Selatan Djuyamto menyebut, gerakan itu hanya diketahui dari media masa, tapi tidak pernah terdeteksi berada di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Kami tidak mengetahui soal informasi tersebut, selain dari berita di media pers," kata Djuyamto, Minggu (22/1/2023).

Baca juga: Pengacara Sebut Gerilya Pengaruhi Vonis Bukan Berasal dari Pihak Ferdy Sambo

Djuyamto enggan memberikan komentar lebih lanjut, karena menurut dia, para hakim yang sedang memimpin jalannya sidang pembunuhan Brigadir J harus fokus dan konsentrasi.

"Kami hanya fokus dan konsentrasi pada proses persidangan," ujar Djuyamto.

Mahkamah Agung yakini majelis hakim jaga independesi

Hal senada juga diungkapkan oleh Mahkamah Agung (MA) mengenai informasi gerakan bawah tanah yang disebut Mahfud MD.

Juru Bicara MA Andi Samsan mengaku tak tahu apa yang disebut dengan gerakan bawah tanah yang hendak memengaruhi vonis terhadap Ferdy Sambo.

"Kami belum tahu kalau ada upaya atau gerakan yang mau mengintervensi terhadap majelis hakim dalam menjatuhkan vonis dalam perkara FS," kata Andi.

Akan tetapi, dia memastikan, gerakan yang dimaksud Menko Polhukam itu tidak akan bisa mengintervensi keputusan majelis hakim yang dipimpin Iman Wahyu Santosa itu.

Baca juga: Prihatin Kasus Ferdy Sambo, Eks Wakapolri Oegroseno: Kalau Anak Buah Salah Jangan Dibunuh

Dia bilang, "terlepas ada atau tidaknya gerakan itu, kami percaya bahwa hakim yang menangani perkara tersebut tentu akan tetap menjaga independensinya untuk tidak terpengaruh dari intervensi dimaksud".

Komisi Yudisial yakini sudah ada antisipasi

Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawas etik dan perilaku hakim turut menyoroti isu gerilya yang menghantui peradilan Sambo Cs ini.

Juru Bicara KY Miko Ginting mengatakan, sejak awal kasus pembunuhan yang melibatkan eks Kadiv Propam Ferdy Sambo ini berjaalan, sudah ada risiko yang sangat besar dalam proses hukumnya.

KY bahkan sempat mengusulkan kepada PN Jakarta Selatan agar majelis hakim yang mengadili perkara tersebut disiapkan rumah aman.

"Memang dari awal kasus ini kental dengan risiko terkait terganggunya kemandirian hakim. Sejak awal KY mengusulkan beberapa hal, misalnya pengamanan khusus terhadap hakim," kata dia.

KY juga turun melakukan pemantauan jalannya persidangan tersebut untuk memastikan kemandirian hakim tak terganggu.

Namun demikian, Miko percaya, "hantu" gerakan bawah tanah yang diungkap Mahfud MD pasti sudah disiapkan antisipasi.

"Pihak pemerintah, dalam hal ini paling tidak Pak Mahfud, pasti juga sudah menyiapkan beberapa strategi antisipatif terkait hal ini," kata Miko.

Latar belakang gerakan bawah tanah ini tak lain dipantik oleh kasus pembunuhan berencana Brigadir J dengan terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Maruf, Ricky Rizal dan Richard Eliezer.

Adapun lima terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir J telah menjalani sidang tuntutan.

Baca juga: Tanggapan Eks Anak Buah Usai Ferdy Sambo Dituntut Seumur Hidup

Pada pokoknya, kelima terdakwa dinilai jaksa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Yosua yang direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diatur dan diancam dalam dakwaan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.

Kuat Ma'ruf, menjadi terdakwa pertama yang menjalani sidang tuntutan yakni pada Senin (16/1/2023). Kuat dituntut pidana penjara 8 tahun.

Setelah Kuat, giliran Ricky Rizal atau Bripka RR yang menjalani sidang tuntutan. Sama dengan Kuat, mantan ajudan Ferdy Sambo itu dituntut pidana penjara 8 tahun.

Selang sehari atau Selasa (17/1/2023), sidang tuntutan dengan terdakwa Ferdy Sambo digelar. eks Kadiv Propam Polri itu dituntut hukuman pidana penjara seumur hidup.

Berikutnya, Istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, menjalani sidang tuntutan pada Rabu (18/1/2023). Oleh jaksa, Putri dituntut pidana penjara 8 tahun.

Terakhir, Richard Eliezer menjalani sidang tuntutan pada Rabu (18/1/2023) siang. Anggota Brimbob berpangkat Bhayangkara Dua (Bharada) itu dituntut pidana penjara 12 tahun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com