Yang menjadi persoalan adalah kenaikan biaya yang ditanggung calon jama’ah yang disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan akumulasi nilai manfaat dana haji, sehingga usulan kenaikan biaya yang ditanggung jama’ah haji cukup mengejutkan, naik sekitar 75 persen dari tahun 2022.
Artinya, persoalan kenaikan biaya haji bukan berasal dari faktor eksternal, seperti inflasi yang dampaknya tidak begitu besar. Kenaikan biaya ini tak lain bersumber dari faktor internal pengelolaan dana haji itu sendiri.
Investasi dana haji Indonesia cenderung dalam portofolio investasi dengan risiko rendah karena tak didukung dengan mekanisme manajemen risiko investasi yang holistik.
Risiko rendah tentu sejalan dengan return yang rendah. Jika ingin return yang tinggi tentu harus berinvestasi dengan risiko tinggi dengan catatan sudah memiliki mekanisme manajemen risiko yang canggih.
Jika terus bertahan dengan investasi risiko rendah tanpa perhitungan matang, maka akan sulit meningkatkan nilai manfaat dana haji.
Jika hal ini terus berlangsung bukan tidak mungkin biaya haji yang ditanggung jama’ah akan semakin besar ke depan.
BPKH saat ini tampak belum terlalu berani berinvestasi dengan risiko tinggi seperti Malaysia, yang memiliki diversifikasi investasi dana haji yang risiko cukup beragam, sehingga nilai manfaat yang didapatkan relatif lebih besar.
Inilah rahasia Malaysia yang bisa menyediakan layanan haji yang relatif lebih terjangkau di banding Indonesia.
Maka, sudah saatnya Indonesia memutakhirkan mekanisme manajemen risiko dana haji agar upaya peningkatan nilai manfaat jangka panjang bisa tercapai.
Sebab, akumulasi biaya-biaya operasional haji akan selalu dibayangi risiko perubahan nilai jika tidak dipagari dengan mekanisme lindung nilai manajemen risiko.
Biaya operasional haji juga akan terus bertambah seiring perubahan kebijakan dan kondisi pasar, terutama terkait selisih kurs. Semestinya, biaya selisih kurs tidak berubah dan dapat dikunci dengan mekanisme lindung nilai mata uang asing.
Ini menunjukkan bahwa pemerintah juga belum memiliki mekanisme kebijakan currency hedging atau lindung nilai transaksi mata uang untuk mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar.
Saat ini, biaya haji disimpan dalam mata uang rupiah, dollar, dan riyal. Akibatnya, simpanan jemaah haji akan terus dibayangi penurunan nilai akibat depresiasi rupiah terhadap dollar dan riyal.
Padahal, kebijakan lindung nilai merupakan keniscayaan dalam pengelolaan dana haji dan telah didukung melalui fatwa DSN MUI Nomor 96 Tahun 2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah dan Peraturan Bank Indonesia 18/2/PBI/2016 tentang Hedging Syariah.
Jika biaya selisih kurs selalu berubah setelah ditetapkan, maka akan menimbulkan ketidakpastian anggaran sehingga berpengaruh terhadap akuntabilitas penyelenggaraan haji.