Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hanif Sofyan
Wiraswasta

Pegiat literasi di walkingbook.org

Ketika Kaki Jokowi Berdiri di Dua Tempat

Kompas.com - 16/01/2023, 13:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jika merujuk pada Ganjar atau Puan Maharani, itu artinya akan ada barisan kelompok nasionalis di belakang layar besar politiknya.

Tapi jika pilihannya adalah Anies Baswedan, secara politik akan diarahkan pada kelompok-kelompok hijau. Belum lagi urusan yang sangat ribet soal barisan para “penyumbang donasi politik” , yang seringkali justu bertindak sebagai “pengatur” arah politik dan kebijakan.

Pilihan politik dan polarisasi

Baik Prabowo, Anies maupun Ganjar memiliki kebijakan politisnya sendiri soal pilihannya, harus ikut gerbong mana dan akan bersedia dimuati apa.

Gelagat politiknya saja bisa membuat para “petualang politik”, termasuk para buzzer memburunya seperti serigala memburu mangsa ketika kelaparan.

Konsekuensinya, bisa menimbulkan polarisasi politik, komitmen yang kuat terhadap suatu budaya, ideologi, atau kandidat sehingga bisa memecah suatu kelompok.

Sebagai contoh, dalam realitas saat ini, pilihan politik Nasdem adalah bentuk pilihan yang berpijak pada pola yang tidak diarahkan pada frekuensi kelompok tertentu.

Bahkan pilihan politik Nasdem atas Anies Baswedan adalah bentuk politik dukungan tanpa mahar, tanpa konsekuensi, dan ini menarik sebagai wujud politik prosedural yang ideal.

Terutama dalam layer politik yang dipenuhi dengan konsesi, kesepakatan, deal, ketika memutuskan untuk memilih calon, mendukung calon dan bergabung dalam sebuah koalisi.

Maka Partai Nasdem, partai pengusung Anies capres itu bereaksi keras setelah mendengar laporan tentang isu tawaran 2 posisi menteri bagi PKS.

Goyangan-goyangan itu ditengarai sebagai upaya untuk menjegal Anies Baswedan maju kontestasi Pilpres 2024. Hal terkait janji-janji sandera politik, seolah harus memiliki konsekuensi politik berbayar. Apakah itu kursi menteri, atau kepemimpinan di lembaga tinggi negara yang strategis.

Belum apa-apa, baru di tingkat pendekatan atau penjajagan-test the water, langsung pada komitmen, “siapa akan mendapat apa”. Entahlah jika sudah sampai pada tahapan kemenangan, barulah dibicarakan soal pembagian kuasa.

Sebagai konsekuensi presiden yang dipilih rakyat dan harus bekerja dengan dukungan dari semua kelompok, termasuk oposisi yang harus bertindak sebagai pengkritik positif demi pembangunan, bukan justru menjatuhkan.

Dalam fragmen politik Indonesia yang dipenuhi intrik, persekongkolan, kekerasan, kecurangan dari sejak elitenya hingga pendukung fanatiknya, ketika masa memilih calon dan berikhtiar menjadi pemenang, toh pada akhirnya akan kembali pada situasi dan kondisi colling down dan berakhir pada keintiman di kereta, makan nasi goreng pedas bersama, berkuda di Istana, dan politik ada dalam semua momentum itu.

Akhirnya hanya ada pendukung yang gusar, gigit jari, sambil bertanya, jadi apa gunanya bertikai gara-gara politik, jika ujungnya koalisi, konsolidasi, konsesi.

Kini dalam ambiguitas pernyataan Jokowi yang kerap mengingatkan potensi gelapnya ekonomi global harus menjadi perhatian utama, paham ekonomi makro-mikro hingga data, namun juga tetap berbicara soal capres-cawapres.

Itu bagian dari tarik ulur politiknya yang menarik, dengan memosisikan diri sebagai king maker untuk tujuan mempertahankan popularitas dan persepsi kinerja pemerintahannya.

Dengan dua kaki pada tempat berlainan memang sulit melangkah, tapi itu adalah pilihan politik yang harus dilakukan. Jika tidak mau timbul polarisasi politik karena kesalahan langkahnya.

Yang masih penuh tanda tanya meski telunjuk Jokowi semakin jelas mengarah kemana adalah, kriterianya soal “jam terbang tinggi” dan “saling melengkapi.” Kepada siapa clue itu mengarah, apakah itu juga berkaitan dengan “frekuensi politiknya” yang harus sama?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com