Ketika terdampar ataupun berlabuh di Aceh, urusan mereka bukan berarti telah selesai. Mereka masuk ke laut teritorial dan daratan Aceh tanpa izin dan tanpa memiliki dokumen perjalanan yang sah.
Ihwal rutinnya manusia perahu Rohingya berlabuh ke perairan Aceh juga menimbulkan dugaan ada mafia penyelundupan manusia (people smuggling) yang melibatkan aktor-aktor internasional maupun lokal.
Menurut pemantauan petugas lapangan, seperti ada oknum tertentu di daratan Indonesia yang memantau mereka mendarat melalui koordinat GPS tertentu.
Setelah tiba di daratan Aceh, lazimnya mereka tak akan diusir balik ke laut. Rakyat Aceh dan pemerintah Indonesia memang tidak menerima mereka dengan tangan terbuka.
Namun tidak sekejam itu juga untuk mengirim mereka kembali ke laut bebas. Kecuali mereka masih berada di laut bebas (high seas).
Kendati belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, namun pemerintah Indonesia terikat dengan prinsip non refoulement pada Konvensi 1951.
Prinsip tersebut tidak mengirim balik pengungsi ke negara semula apabila hal tersebut membahayakan keselamatan mereka. Ini sudah menjadi hukum kebiasaan internasional (international customary law).
Kearifan lokal masyarakat Aceh dan kebaikan hati pemerintah daerah maupun pusat, dengan dukungan ormas-ormas pemerhati pengungsi dan badan PBB seperti UNHCR dan IOM, membuat para manusia perahu hampir selalu dikelola secara manusiawi.
Walau, pada titik tertentu, pemerintah dan masyarakat tentunya memiliki batas kesabaran dan keterbatasan kapasitas juga.
Apalagi, kenyataan di lapangan, pencari suaka Rohingya seringkali tidak bertahan lama di penampungan. Usai ditolong dan diselamatkan, sebagian besar 'manusia perahu' malah memilih kabur dari kamp penampungan sementara.
Ada yang dapat diamankan kembali, namun ada juga yang kemudian ‘hilang.’ Di antara yang hilang ini ada yang meneruskan perjalanan ke Malaysia melalui pintu tidak resmi. Ada pula yang meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Entah melalui cara apa.
Di antara yang diamankan ada yang kemudian menempati Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) untuk sementara, ada yang ditempatkan di community house seperti di Medan, Pekanbaru dan Makassar.
Namun ada juga yang tinggal di rumah kosan di tengah-tengah masyarakat Indonesia, seperti di Tangerang Selatan, Depok, maupun di Kabupaten Bogor. Mereka mendapat bantuan dari Badan PBB maupun dari LSM lokal maupun internasional.
Kehadiran manusia perahu Rohingya yang dapat disebut sebagai pencari suaka (asylum seekers) tak pelak menjadi dilema bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Di satu sisi, bangsa Indonesia terkenal karena kedermawanan dan jiwa kemanusiaannya yang tak mudah mengusir tamu asing, apalagi kalau mereka amat menderita dan memerlukan bantuan.