JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Citra Referandum mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendengarkan penolakan masyarakat terkait penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
"DPR harus betul-betul mendengar dan mempertimbangkan suara masyarakat atas terbitnya Perppu a quo sebagai pemegang mandat para konstituen," kata Citra dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Minggu (1/1/2023).
Menurut Citra, DPR dapat memberi persetujuan atau tidak atas penerbitan sebuah Perppu dalam persidangan yang berikutnya.
Hal itu sesuai dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa, “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.”
Baca juga: Terbitnya Perppu yang Diklaim Gugurkan Status Inkonstitusional UU Cipta Kerja...
Citra mengatakan, DPR harus mengambil sikap menolak penerbitan Perppu Cipta Kerja sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional.
"DPR juga harus mengambil kesepakatan untuk tidak menyetujui Perppu a quo sebagai
bentuk perimbangan kekuasaan (checks and balances) dan koreksi secara politis demi mencegah keberlanjutan tindakan inkonstitusional," ujar Citra.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Perppu Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022) menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.
Keputusan Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja dikritik keras oleh Koordinator Tim Kuasa Hukum Penggugat Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Viktor Santoso Tandiasa.
"Tindakan ini adalah bentuk perbuatan melanggar hukum pemerintah atas putusan MK. Bahkan, dapat dikatakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi," ujar Viktor kepada Kompas.com.
Viktor menyatakan bahwa MK dalam putusannya mengamanatkan agar pemerintah dan DPR memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dan memaksimalkan partisipasi publik.
Bukannya menjalankan amanat konstitusi tersebut, pemerintah justru melakukan pembangkangan dan mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu.
"Sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, apabila dalam dua tahun atau sampai dengan 25 November 2023 tidak diperbaiki, maka akan inkonstitusional secara permanen," papar Viktor.
"Namun, ternyata pemerintah bukannya memanfaatkan dua tahun ini untuk memperbaiki tapi malah mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu," tutur dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 itu diharapkan kepastian hukum bisa terisi dan ini menjadi implementasi dari putusan MK.
Baca juga: Pemerintah Klaim Perppu Cipta Kerja Sudah Dikonsultasikan dengan Stakeholders Terkait
Airlangga mengatakan, putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat telah mempengaruhi perilaku dunia usaha dalam dan luar negeri yang menunggu keberlanjutan UU tersebut.