Menurut data (katadata.co.id), partai politik hanya menerima kepercayaan 56,6 persen responden. Survei yang sama juga menunjukan bahwa presiden mendapat kepercayaan 84,5 persen responden dan TNI mendapat 93,3 persen.
Artinya memang partai politik mendapat simpati paling rendah dari publik terkait kepercayaan. Bahkan instansi Polri dengan berbagai kasus, masih mendapat 76,6 persen lebih dibandingkan parpol.
Penetrasi parpol sampai ke akar rumput sering terjadi sebagai metode memperkuat basis dukungan. Meskipun begitu, parpol tetap dibicarakan miring karena sepak terjang aktor politiknya yang tidak sesuai amanat konstitusi untuk menyejahterakan masyarakat.
Kekuatan parpol menjadi begitu kuat untuk meracuni aktor-aktor lokal tunduk kepada perintah. Fenomena demokrasi kita saat ini lebih dimainkan oleh parpol sebagai kekuatan utama kendaraan demokrasi liberal.
Alhasil kekuatan bibit-bibit lokal tetap akan terpenjara oleh hegemoni parpol untuk siap mengebiri gagasan-gagasan baru, apabila itu bertentangan dengan kepentingan parpol.
Karena sistem ini berlangsung terus, maka di akar rumput masyarakat bisa bertengkar hanya karena parpolnya berbeda. Meskipun di satu sisi, terdapat banyak juga politisi kutu loncat yang sering berpindah partai.
Seberapa jauh politisi tersebut berpindah, tetap akan tunduk kepada perintah dan kepentingan partai.
Terdapat jurang dalam antara demokrasi dan pemilu. Jurang itu adalah fanatisme. Bagi sebagian kalangan fanatisme merupakan bibit berbahaya.
Tidak hanya di Indonesia watak fanatisme ini bertumbuh, bahkan negara liberal seperti Amerika pun merasakan hal sama.
Seorang profesor ilmu politik Universitas Miami, Joseph Uscinski (liputan6.com) menyebutkan bahwa warga Amerika memilki fanatisme yang besar terhadap partai politik pilihannya dan sulit untuk digoyah.
Fanatisme didorong oleh keluarga sehingga publik memilih berdasarkan pilihan keluarga.
Bahkan dalam satu survei, menurut Joseph Uscinski, rata rata pemilih sudah menentukan pilihan politiknya sejak umur 13 tahun, sehingga sampai usia lansia pilihan mereka tetap tidak berubah. Meskipun kebijakan partai, baik itu Republik atau Demokrat berubah, pilihan mereka tetap sama.
Fanatisme sebenarnya merujuk kepada sikap antusiasme berlebihan terhadap suatu hal. Tidak ada salahnya jika orang sangat antusias untuk melakukan sesuatu. Namun kalau sampai pada titik melakukan kekerasan, baik itu verbal atau non-verbal, fanatisme perlu untuk dikritisi.
Kita tahu bahwa ajang politik diorientasikan untuk saling “ejek” antara elite. Tidak hanya di kalangan elite komunikasi negatif muncul, tetapi tervisualisasi juga sampai pada masyakat akar rumput.
Tindakan ini terjadi sebagai bentuk antusiasme pendukung kepada elite. Bahkan bisa saja pecah kongsi dalam sebuah keluarga hanya karena beda pilihan politik.