Salin Artikel

Mereka Berebut, Kenapa Kita yang Ribut?

Bagi politisi, semua agenda bisa dilakukan secara bersamaan. Fasilitas yang digunakan bisa saja milik partai, pribadi, atau pemerintah.

Sulit ditemukan elite Nasional datang ke daerah tanpa ada penyambutan. Artinya perlu ada fasilitas terbaik untuk menyambut “tuan” dari ibu kota.

Anggarannya tidak sedikit untuk melayani tuan dan puan politisi yang hanya sekadar datang untuk menarik simpati rakyat. Bagai raja, elite diarak dengan kemewahan dan hingar-bingar.

Fakta ini sudah dari dulu terjadi ketika kita memilih demokrasi sebagai kendaraan menuju kesejahteraan.

Tidak hanya itu, kebudayaan kita menjadi salah satu kontributor dalam memuluskan proyek demokrasi liberal yang mahal dan penuh formalitas.

Kampanye dialogis sering diutarakan elite untuk menarik simpati ketika memasuki tahun-tahun pemilu. Praktik komunikasi politik itu terkadang dimulai dari sikap kritis terhadap pemerintahan saat ini.

Data dan bicara merupakan jalan untuk meyakinkan rakyat akan pilihan politiknya, baik itu kepada partai atau kepada tokoh.

Biasanya kampanye politik menjadi ajang untuk menggiring opini dan sikap rakyat. Mudah tergiringnya rakyat disebabkan kecenderungan rendahnya kemampuan filterisasi terhadap argumen politik para elite.

Sehingga masyarakat daerah menjadi santapan empuk elite partai untuk mendapatkan basis massa dengan tingkat fanatisme yang tinggi.

Gagasan elite Nasional menjadi kebenaran mutlak yang sulit dibantah. Apa lagi tokoh-tokoh lokal menjadi aktor suruhan untuk memanipulasi komunikasi. Perilaku ini berguna untuk mencari simpati publik dan di satu sisi menyenangkan “tuannya” dari Jakarta.

Pertaruhan daerah sebagai basis dukungan tidak main-main di level akar rumput. Saling senggol menjadi tragedi sehari-hari dalam politik transaksional kita.

Fanatisme berlebihan bertumbuh secara cepat melalui proses demokrasi liberal tanpa filter kritis dan kedewasaan dalam memaknai esensi politik. Politik hanya dipandang sebagai tragedi gelap setiap lima tahun sekali.

Uang dan kekuasaan menjadi orientasi utama untuk mendapatkan kemenangan. Pemilu akhirnya menjadi ajang kompetisi harta dan tahta. Bukan dijadikan ruang partisipasi gagasan dan ide yang layak untuk disuarakan.

Partisipasi politik hanya diperlakukan untuk menyenangkan dan mengutamakan suara partai. Independensi aktor politik akhirnya diseret kejurang keserakahan partai yang berusaha hidup di tengah ketidakpuasan rakyat terhadap partai itu sendiri.

Menurut data (katadata.co.id), partai politik hanya menerima kepercayaan 56,6 persen responden. Survei yang sama juga menunjukan bahwa presiden mendapat kepercayaan 84,5 persen responden dan TNI mendapat 93,3 persen.

Artinya memang partai politik mendapat simpati paling rendah dari publik terkait kepercayaan. Bahkan instansi Polri dengan berbagai kasus, masih mendapat 76,6 persen lebih dibandingkan parpol.

Penetrasi parpol sampai ke akar rumput sering terjadi sebagai metode memperkuat basis dukungan. Meskipun begitu, parpol tetap dibicarakan miring karena sepak terjang aktor politiknya yang tidak sesuai amanat konstitusi untuk menyejahterakan masyarakat.

Kekuatan parpol menjadi begitu kuat untuk meracuni aktor-aktor lokal tunduk kepada perintah. Fenomena demokrasi kita saat ini lebih dimainkan oleh parpol sebagai kekuatan utama kendaraan demokrasi liberal.

Alhasil kekuatan bibit-bibit lokal tetap akan terpenjara oleh hegemoni parpol untuk siap mengebiri gagasan-gagasan baru, apabila itu bertentangan dengan kepentingan parpol.

Karena sistem ini berlangsung terus, maka di akar rumput masyarakat bisa bertengkar hanya karena parpolnya berbeda. Meskipun di satu sisi, terdapat banyak juga politisi kutu loncat yang sering berpindah partai.

Seberapa jauh politisi tersebut berpindah, tetap akan tunduk kepada perintah dan kepentingan partai.

Hentikan fanatisme 

Terdapat jurang dalam antara demokrasi dan pemilu. Jurang itu adalah fanatisme. Bagi sebagian kalangan fanatisme merupakan bibit berbahaya.

Tidak hanya di Indonesia watak fanatisme ini bertumbuh, bahkan negara liberal seperti Amerika pun merasakan hal sama.

Seorang profesor ilmu politik Universitas Miami, Joseph Uscinski (liputan6.com) menyebutkan bahwa warga Amerika memilki fanatisme yang besar terhadap partai politik pilihannya dan sulit untuk digoyah.

Fanatisme didorong oleh keluarga sehingga publik memilih berdasarkan pilihan keluarga.

Bahkan dalam satu survei, menurut Joseph Uscinski, rata rata pemilih sudah menentukan pilihan politiknya sejak umur 13 tahun, sehingga sampai usia lansia pilihan mereka tetap tidak berubah. Meskipun kebijakan partai, baik itu Republik atau Demokrat berubah, pilihan mereka tetap sama.

Fanatisme sebenarnya merujuk kepada sikap antusiasme berlebihan terhadap suatu hal. Tidak ada salahnya jika orang sangat antusias untuk melakukan sesuatu. Namun kalau sampai pada titik melakukan kekerasan, baik itu verbal atau non-verbal, fanatisme perlu untuk dikritisi.

Kita tahu bahwa ajang politik diorientasikan untuk saling “ejek” antara elite. Tidak hanya di kalangan elite komunikasi negatif muncul, tetapi tervisualisasi juga sampai pada masyakat akar rumput.

Tindakan ini terjadi sebagai bentuk antusiasme pendukung kepada elite. Bahkan bisa saja pecah kongsi dalam sebuah keluarga hanya karena beda pilihan politik.

Mungkin kalau perbedaan pilihan politik hanya sampai pada tataran beda sudut pandang atau argumentasi, masih bisa dimaklumi. Karena memang demokrasi menginginkan adanya diskursus dewasa oleh setiap warga negara.

Tetapi kalau sampai terjadi kekerasan, itu yang berbahaya bagai keberlangsungan demokrasi itu sendiri.

Sikap fanatisme tidak hanya fanatik kepada tokoh atau partai tertentu, untuk kasus Indonesia fanatisme lebih cenderung dilakukan karena agama.

Amanah Nurish (LIPI,2019) menyebutkan bahwa fenomena keagamaan masyarakat Indonesia yang semakin hari cenderung semakin bersifat sektarianisme dan hal itu berdampak pada aksi intoleransi hingga aksi kekerasaan atas nama agama.

Artinya bisa saja dalam ruang-ruang kampanye politik, agama dipergunakan sebagai jembatan untuk menarik simpati publik.

Sebenarnya elite politik tahu bahwa agama adalah bingkisan istimewa bagi publik. Sehingga bingkisan itu mudah untuk dibeli dan dipertaruhkan di ruang-ruang publik.

Hasilnya memang sangat menguntungkan jika agama dijadikan bingkisan jualan untuk mendapat kekuasaan.

Kalau elite tetap memakai agama untuk meningkatkan fanatisme publik, kita perlu melawan itu dengan cara menolak diskursus agama dalam setiap tindakan politik.

Agama di satu sisi memang bisa menyelesaikan masalah publik, tetapi tidak berarti agama menjadi panglima untuk menyelesaikan setiap persoalan publik.

Kita jangan terjebak lagi pada orientasi-orientasi sektarianisme yang pada akhinya meremukkan semangat demokrasi.

Fanatisme sebaiknya difokuskan kepada adu data dan gagasan. Di satu titik, cara ini lebih moderat dalam menumbuhkan partisipasi politik rasional.

Isu-isu sosiologis dan emosional sebaiknya dijauhkan dulu dalam momen pemilu untuk mencegah terjadinya konflik horizontal.

Refleksi agar tidak terjebak pada fanatisme terhadap tokoh dan partai atau fanatisme sektarianisme perlu dilakukan oleh elite dalam kampanye-kampanye politiknya.

Elite politik jangan hanya menggunakan demokrasi saat ini untuk menggendutkan rekening pribadi, tetapi harus sampai pada titik menyadarkan masyarakat Indonesia.

Boleh berkompetisi, asalkan masyarakat tercedaskan. Dengan begitu negara Indonesia mampu eksis tanpa lagi terjebak pertengkaran di ruang-ruang privat.

https://nasional.kompas.com/read/2022/12/14/14304431/mereka-berebut-kenapa-kita-yang-ribut

Terkini Lainnya

KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

Nasional
Pengamat Heran 'Amicus Curiae' Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Pengamat Heran "Amicus Curiae" Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Nasional
Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Nasional
Marak 'Amicus Curiae', Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Marak "Amicus Curiae", Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Nasional
Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Nasional
Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Nasional
Pakar: 'Amicus Curiae' untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Pakar: "Amicus Curiae" untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Nasional
Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Nasional
Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Nasional
Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Nasional
Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke