Apa yang dilakukan calon presiden atau bakal calon wakil presiden jelang pemilihan presiden, seperti gaya “meliuk-liuk” calon bermanuver untuk memikat perhatian para calon pemilih dan partai yang “mungkin” akan meminangnya tidak jauh berbeda dengan gaya pemain sepakbola.
Terkadang, capres langsung “menendang” bola ke arah partai, tetapi juga kadang bakal cawapres langsung “berlari” ke jantung pertahanan koalisi.
Gaya rambut para pemain sepakbola di Piala Dunia Qatar 2022 pun tidak kalah stylish. Ada yang berambut “cepmek” alias cepak mekar, ada juga yang berambut putih dengan wajah berkerut karena memikirkan sepakbola.
Jauh sebelum Presiden Joko Widodo melemparkan “kode keras” calon pemimpin bangsa di pertemuan akbar relawan Gerakan Nusantara Bersatu di Gelora Bung Karno, Jakarta, beberapa hari yang lalu, para pemain sepakbola telah lama mematut gaya rambut mereka.
Pemain Brasil yang bersinar di Piala Dunia Qatar 2022 karena tendangan saltonya yang ciamik merobek gawang Serbia, Richarlison de Andrade dikenal sebagai pemain yang suka mengubah warna rambutnya.
Setiap strategi dan permainan politik tidak bisa lepas dengan aspek kekuatan atau “power”.
Pengertian politik selalu terkait dengan pembuatan keputusan untuk kepentingan publik. Penggunaan kekuasaan politik oleh presiden seperti memilih relawan yang berjasa dalam kampanye, tentunya melalui menteri urusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bisa duduk “nyaman” sebagai komisaris di berbagai BUMN.
Sehingga jangan heran, jika ada relawan yang “siap tempur” membela presiden, tentunya sebagai balas jasa kebaikan presiden.
Demikian juga “power sharing” di kabinet jika suatu koalisi partai-partai memenangkan Pilpres, tentu kavling-kavling jabatan menteri adalah “bancakan” dari koalisi pemenang Pilpres.
Setiap gol yang tercipta di lapangan, selalu dirayakan oleh pemain di lapangan. Tidak ketinggalan para pemain cadangan dan staf pelatih yang duduk di bench, ikut menyeruak ke lapangan untuk merayakan keberhasilan.
Uniknya di Qatar kali ini, kadang perayaan gol harus terjeda karena menunggu keputusan teknologi video assistant referee atau VAR terlebih dahulu.
Kerap pemain sudah kadung merayakan gol, padahal akhirnya wasit harus menganulir karena berdasar pengamatan teknologi VAR dinyatatakan offside.
Saya jadi teringat di Pilpres 2014 silam, saat ada capres yang mencium tanah karena merasa menang di Pilpres, padahal hasil resmi belum diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Soal gol atau tidak, sepakbola modern kini mengandalkan kecanggihan teknologi. Kita pun berharap suatu saat nanti, pemilu di tanah air kita menerapkan penggunaan e-voting agar kecurangan bisa diminimalisir.
Di setiap pertandingan sepakbola, selalu galib terlihat sang pelatih begitu “santuy” atau malah selalu berteriak-teriak menyampaikan instruksinya kepada para pemain.
Sementara di koalisi partai-partai, tampak kasat mata atau tidak sang king maker yang akan mengatur bidak pergerakan sang capres.
Jangan heran jika sekarang ini, ada “pemain” politik yang kerap beranjangsana ke berbagai daerah, tidak ubahnya seperti Christian Eriksen dari Denmark yang menjelajah seluruh lapangan untuk mencari peluang mendapatkan gol.
Mirip dengan pemain sepakbola, sesungguhnya setiap politisi selalu berpikir bagaimana ia bisa berkuasa di pemerintahan selama mungkin.
Christiano Ronaldo walau sudah memasuki usia 37 tahun, namun dirinya menolak pensiun karena kebugarannya terus terjaga.
Demikian juga dengan pemain Brasil seperti Dani Alves (39) dan Thiago Silva (38), mereka tetap trengginas saat usia “sepuh” untuk permainan sepakbola.
Jika panggung politik Malaysia terkiwari menjadikan Mahathir Mohamad (97) sebagai kontestasi politik terakhirnya mengingat para pemilih setianya mengalihkan dukungan kepada calon lain yang lebih “energik”, maka dunia sepakbola pun mengenal hal tersebut.