MIRIS. Buruknya literasi bencana terpampang telanjang bahkan tersiar langsung lewat media sosial dari Gedung DPR, Senin (21/11/2022).
Pimpinan Komisi V DPR yang salah satu ruang lingkup kerjanya membidangi meteorologi, klomatologi, dan geofisika, dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai salah satu mitra kerja, justru tertawa ketika jajaran BMKG spontan berlindung di bawah meja ketika gempa mengguncang di tengah rapat mereka.
Diingatkan tentang protokol perlindungan diri saat terjadi gempa, tawa itu tak reda. Pun waktu disinggung soal protokol evakuasi, itu hanya dibantah dengan jawaban enteng.
Baca juga: Ketika Wakil Ketua Komisi V Tertawa Lihat Kepala BMKG Sembunyi di Bawah Meja Saat Gempa Terjadi....
Menjadi miris juga, aksi spontan berlindung di bawah meja ketika terjadi guncangan gempa juga hanya dilakukan jajaran BMKG. Padahal, ada juga di sana personel institusi lain yang berurusan dengan kebencanaan.
Bila literasi saja masih bikin miris, bahkan di lokasi dan pada orang-orang yang seharusnya punya akses pengetahuan memadai, apa kabar mitigasi bencana?
Masalah pokok terkait gempa adalah waktu kemunculannya yang selalu tiba-tiba. Ia muncul sesukanya, tak terpola oleh patokan waktu manusia. Kita hanya bisa menunggu dan menunggu, sampai kemudian lupa dan tiba-tiba dikejutkan kembali oleh guncangan besar.
Ahmad Arif menuliskan serentet kalimat di atas sebagai prolog bab 4 buku Hidup Mati di Negeri Cincin Api terbitan Penerbit Buku Kompas. Dia memberi judul bab itu Negeri Gempa dan Tsunami.
Gempa selalu terjadi tiba-tiba, tak terkecuali di Indonesia. Tak terhitung gempa besar mengguncang negeri di khatulistiwa ini. Terkini, gempa berguncang dari Cianjur, Jawa Barat, pada Senin (21/11/2022) itu.
Hingga tulisan ini dibuat, sudah lebih dari 200 orang meninggal, lebih dari seribu orang terluka, dan puluhan ribu yang lain mengungsi.
Baca juga: Fakta Terkini Gempa Cianjur, Korban Meninggal 268 Orang dan Potensi Bencana Lanjutan
Nyaris tak sejengkal pun tanah di Nusantara yang luput dari ancaman gempa, selain Kalimantan, seperti yang tertera dalam peta sejarah kegempaan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Gempa, tsunami, dan juga letusan gunung berapi telah menjadi bagian dari sejarah Nusantara dan terekam dalam mitologi serta dongeng kuno.
Sejarawan Bernard HM Vlekke dalam buku Nusantara: Sejarah Indonesia, 1961, menulis, letusan gunung dan gempa bumi begitu sering terjadi di negeri ini. Salah satu pulau yang paling sering dilanda gempa adalah Sumatera, seperti dilaporkan William Marsden dalam bukunya, Sejarah Sumatera, 1783.
”Gempa bumi paling keras saya alami terjadi di Manna (Bengkulu), tahun 1770. Sebuah kampung musnah, rumah-rumah runtuh dan habis dimakan api. Beberapa orang tewas,” demikian tulis Marsden.
Tiga paragraf di atas merupakan bagian dari artikel yang ditulis Ahmad Arif yang mengisi halaman muka harian Kompas edisi 14 September 2011 berjudul "Hidup-Mati di Negeri Cincin Api".
Khusus terkait gempa, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahkan pernah menyebut rata-rata setiap bulan terjadi 400 gempa di seluruh Indonesia.
Masalahnya, tak banyak orang Indonesia yang sadar dan paham mengenai risiko kebencanaan ini, apalagi mengantisipasinya. Setidaknya, survei Kompas pada 2011 memperlihatkan buruknya kesadaran bencana warga, bahkan di wilayah-wilayah paling rawan kejadian.