Padahal, ketika proses penyidikan berlangsung, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, penyidik harus memiliki dua alat bukti yang sah.
Terhadap alasan ini, nampaknya alat bukti yang telah ada dianulir sendiri oleh penyidik. Hal ini menimbulkan kesan penyidik tidak hati-hati dalam menilai alat bukti yang dipergunakan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Alasan kedua, peristiwa yang dipersangkakan bukan peristiwa pidana. Kalau menggunakan alasan ini, maka penyidik juga menunjukkan ketidak hati-hatian atau ketidakprofesionalan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Jelas sekali pada Pasal 1 angka (5) KUHAP: Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
Ketika dilakukan penyelidikan dan penyidik yakin dengan dukungan alat bukti, maka dilanjutkan dengan penyidikan. Sebaliknya penyidik dapat menetapkan perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana sehingga harus dihentikan.
Selanjutnya alasan demi hukum terbitnya SP3 didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu (1) nebis in idem; (2) tersangka meninggal dunia; (3) daluarsa.
Pasal 76 KUHP yang mengatur tentang orang tidak boleh dituntut dua kali atas perkara yang sama. Selain itu, apabila tersangka meninggal dunia sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHP. Alasan ketiga adalah daluarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP.
Tentang daluarsa ini ada empat kategori, yaitu:
Salah satu dasar peraturan yang digunakan dalam menerapkan Restorative Justice adalah adanya Nota Kerjasama lembaga penegak hukum, yakni Nota Kesepakatan Bersama Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Restorative Justice yang disusun serta dituangkan dalam Nomor 131/KMS/SKB/X/2012, Nomor M-HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012.
Restorative Justice digunakan sebagai prinsip dalam mengatur penanganan di dalam menyelesaikan perkara tindak pidana.
Kesepakatan Bersama yang telah diciptakan inilah yang menjadi dasar dalam penyelesaian suatu perkara pidana dengan menerapkan prinsip restorative justice.
Dalam pelaksanaannya masing-masing lembaga negara seperti MA, Kejagung, Polri membuat peraturan lebih lanjut untuk digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penanganan perkara tindak pidana, antara lain Surat Edaran Kapolri No. SE /8 / VII/ 2018 Tahun 2018, Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019, PERJA No. 15 Tahun 2020, Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA No. 1691/ DJU/ SK/ PS.00/ 12/ 2020.
Pengaturan yang dibuat oleh masing-masing lembaga penegak hukum di atas mengatur tentang prinsip Restorative Justice yang digunakan dalam menyelesaikan perkara pidana yang dimulai pada saat penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga tahap akhirnya pada pemeriksaan sidang di pengadilan.
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA No. 1691/ DJU/ SK/ PS.00/ 12/ 2020, mengatur penerapan Restorative Justice dalam penanganan perkara tindak pidana ringan, perempuan yang berhadapan dengan hukum, anak, dan narkotika di pengadilan negeri.
Bagian lampiran, dijelaskan perkara tindak pidana ringan dapat diselesaikan dengan Restorative Justice sebagaimana diatur Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP yang diancam pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda dengan nilai kerugian tidak lebih dari Rp 2.500.000.