BANGSA ini terus didera dengan beragam persoalan yang tidak ada selesainya. Belum kelar kasus Ferdy, kini meruyak kasus Teddy. Yang tuntas untuk sementara hanyalah kasus Lesty.
Nama-nama tersebut akhir-akhir ini begitu “membetot” perhatian kita. Kesulitan hidup akibat dampak kenaikan harga bahan bakar minyal (BBM) menjadi sedikit teralihkan karena masifnya pemberitaan kasus-kasus tersebut.
Kasus Ferdy (Sambo), Teddy (Minahasa), dan Lesty (Kejora) menjadi atensi publik dan diberitakan dengan gencar, berikut segala “bumbu” beritanya karena menyangkut pejabat publik dan figur publik.
Jika Ferdy dan Teddy menjadi gambaran utuh dari institusi negara yang bernama Polri, maka Lesty adalah representasi dari kehidupan selebritas yang diidokakan publik.
Ketiga sosok ini; Ferdy, Teddy, dan Lesty adalah idealisasi gambaran publik akan capaian karir, puncak ketenaran, dan kelimpahan materi.
Citra diri dari masing-masing personal ini begitu dipuja, dihormat, dan diidamkan setiap orang. Setiap aktifitas mereka tidak lepas dari pemberitaan, apalagi sekarang ini.
Berpangkat jenderal dan memiliki jabatan “mentereng” adalah impian banyak orang. Tidak semua polisi bisa menjadi jenderal.
Jenjang jenderal hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang memiliki karir cemerlang dan mempunyai “garis tangan” yang bagus.
Hanya mengandalkan kepintaran dan mempunyai riwayat pekerjaan yang “moncer” saja ternyata belum cukup. Kata sahabat saya yang berdinas di kepolisian, faktor keturunan pun juga memberi andil dalam kenaikan pangkat.
Tidak hanya bobot dan bebet saja yang dibutuhkan, tetapi juga bibit. Jika ayah seorang polisi menyandang pangkat jenderal, besar kemungkinan “garis tangan” menjadi jenderal pun semakin terbuka lebar untuk lulusan akademi kepolisian.
Walau tidak menjadi adagium, jenderal membawa jenderal adalah kosakata yang jamak bagi karir yang ingin menanjak.
Mengingat pangkat jenderal susah didapat dan hanya jabatan-jabatan tertentu membutuhkan pangkat jenderal maka menjadi jenderal adalah kebanggaan.
Saya adalah anak “kolong” untuk menyebut dari keluarga militer, begitu paham dengan “bully” yang dilontarkan teman-teman saat bersekolah dulu.
Walau ayah berpangkat sersan, tetapi saya bangga karena ayah saya ikut beberapa kali operasi militer. Teman-teman selalu menabalkan saya dengan anaknya sersan perang.
Sebaliknya saya pun juga kerap mengejek seorang teman dengan sebutan anaknya “kolonel salep”, yakni sebutan untuk personel militer yang bertugas di bagian medis.
Saya tidak bisa membayangkan gaya bercanda anak-anak kolong sekarang atau anak-anak polisi dewasa ini seiring dengan makin “meruyaknya” komersialisasi jabatan dan pangkat.
Di saat menjabat kepala kepolisian wilayah sudah memiliki mobil mewah dan motor “gede” adalah hal biasa.
Jokowi dalam taklimatnya meminta seluruh pejabat teras di lingkungan Polri bisa menjadi panutan bagi anak buahnya. Bisa mengerem gaya hidup mewah yang selama ini dipamerkan dengan sadar oleh para pimpinan Polri.
Polisi tidak boleh terlibat dengan aksi-aksi kejahatan yang selama ini menjadi tugas polisi untuk memberantasnya.
Mindset publik terhadap sosok jenderal, kapolres, atau kapoltabes yang selama ini glamour, mengenakan baju necis, berkendaraan mewah, memamerkan motor gede dan melalaikan tugas apalagi menjadi bagian dari kejahatan, menemukan momentumkan ketika kasus Ferdy dan Teddy muncul di permukaan.