Setiap kali reuni sekolah digelar, saya kerap memilih untuk tidak hadir karena kebetulan memang posisi saya kerap di luar kota.
Ada alasan saya dan beberapa teman memilih absen dalam acara temu kangen, yakni menghindari kultus individu terhadap alumni secara berlebihan.
Bukan karena saya dan beberapa teman tidak memiliki pangkat jenderal dan hidup semenjana, tetapi banyak teman-teman yang lain begitu mengeluh-eluhkan alumni yang berpangkat tinggi dan berkedudukan “basah”.
Posisi penasehat bahkan donatur kerap ditimpakan kepada alumni yang sukses dengan parameter “materi”.
Sehingga jangan heran dengan fenomena menggunduli rambut hingga plontos yang dilakukan teman-teman Teddy Minahasa semasa bersekolah di SMPN 1 Pasuruan, Jawa Timur, saat nama Ferdy diumumkan sebagai Kapolda Jawa Timur.
Tidak hanya sahabat Teddy yang pria, bahkan ada seorang sahabat perempuan Teddy yang tergabung dalam Sobatku-87 itu ikut memplontoskan rambutnya.
Saya jadi teringat dengan wejangan kakek nenek saya agar dalam mensikapi kehidupan untuk ngono yoh ngono ning ojo ngono.
Selarik kalimat berbahasa Jawa ini memiliki arti dalam bahasa Indonesia sebagai padanan “begitu yah begitu, tetapi yah jangan begitu”.
Kalau kita perhatikan sekilas kalimat tersebut terkesan ambigu dan aneh serta tanpa makna. Bagi masyarakat Jawa “ngono yoh ngono ning ojo ngono” sarat dengan arti filosofi sindiran tersebut.
Konsep ngono yoh ngono ning ojo ngono bukan tanpa ujug-ujug sebagai implementasi untuk memahami konteks sebuah persoalan. Prinsip yang terkandung dalam filosofi tersebut oleh masyarakat Jawa dipercayai membawa makna “sederhana”, yaitu seni menempatkkan diri.
Jangan mengambil posisi terlalu ringan atau terlalu berat. Memilih terlalu besar atau terlalu kecil.
Sebagai pesan “ngono yoh ngono ning ojo ngono” diartikan sebagai ajaran silahkan untuk melakukan sesuatu, tetapi jangan begitu terlalu atau berlebihan. Secara positif juga diartikan menjaga keseimbangan.
Saya tidak membayangkan bagaimana perasaan teman-teman Teddy yang telah memplontoskan rambutnya saat mendengarkan pernyataan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengenai tindak pidana yang dituduhkan terhadap bekas Kapolda Sumatera Barat yang urung menjadi Kapolda Jawa Timur.
Memanipulasi barang bukti hasil kejahatan, kemudian menukarnya dengan tawas serta menjual narkoba ke bandar adalah perbuatan yang sukar diterima oleh nalar sehat bahkan oleh seorang alumni sekolah yang kebetulan mempunyai putra-putri.
Andai barang bukti narkoba itu sudah terjual dan dikonsumsi oleh pengguna, entah berapa banyak generasi muda harapan bangsa yang rusak masa depannya gara-gara narkoba jahanam itu.
Saya begitu terkesan dengan sahabat saya saat kami bersekolah bersama di SMPN 214 Halim Perdanakusuma, Jakarta, angkatan 1983.
Profesinya begitu luhur, mendamaikan warga yang berselisih paham, mengurus keperluan administrasi warga yang akan bekerja atau bersekolah, mengurus penyaluran bantuan sosial dari pemerintah hingga membantu warga yang tertimpa musibah.
Walau hanya sekadar ketua rukun warga dan bukan berpangkat jenderal, mendiang sahabat saya begitu dikenang kebaikkannnya.
Dari kasus Ferdy dan Teddy kita bisa menarik hikmah bahwa begitu tipis jarak antara kesuksesan dan kegagalan. Begitu pendek antara kekaguman dan hinaan dan begitu singkat riwayat hidup seorang jika diisi dengan pemujaan materi yang berlebihan.
Ferdy Sambo adalah tipikal perwira polisi yang melesat karirnya dan begitu berambisi meraih pangkat jenderal.
Ketika pangkat jenderal sudah teraih dan jabatan sudah digenggam maka kekuasaan begitu membuatnya terlena.