JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Negeri Makassar kembali menggelar sidang kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai, Papua yang terjadi pada tahun 2014. Agenda persidangan hari ini adalah mendengarkan keterangan saksi.
Salah satu saksi, Andi Riko Amir menjelaskan peristiwa tersebut bermula ketika 100 warga sipil mendatangi Markas Koramil 1705-02/Enarotali, Senin (8/12/2014), sekitar pukul 08.00 WIT.
Menurut Andi, massa mendatangi Koramil setempat sembari berteriak meminta pertanggungjawaban perbuatan personel TNI. Tetapi, ia tak mengerti pertanggungjawban apa yang dimaksud.
“Mereka mengatakan, ‘tolong tanggung jawab, kami punya masalah yang tadi malam, tentara tolong tanggung jawab kejadian semalam’,” ujar Andi kepada hakim, dikutip dari YouTube Pengadilan Negeri Makassar, Rabu siang.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Sayangkan Pengadilan HAM Berat Paniai Digelar di Makassar
Andi mengatakan bahwa situasi kemudian memanas. Massa yang hadir melempari Markas Koramil dengan batu dan panah.
“Di situ terjadi panah yang menancap di dinding Koramil dan kaca dilempari sampai rubuh,” terang anggota Polri yang kebetulan saat peristiwa ini terjadi tengah berada di Markas Koramil 1705-02/Enarotali.
Andi mengatakan, ketika massa berkumpul di depan halaman Markas Koramil 1705-02/Enarotali, setidaknya ada lebih dari lima prajurit TNI yang berada di dalam kantor.
Terdakwa Perwira Penghubung Kodim 1705/Paniai, Mayor Infanteri (Purnawirawan) Isak Sattu juga berada di lokasi ketika massa mendatangi Markas Koramil.
Baca juga: KSP Dorong Proses Peradilan Kasus Paniai Terbuka dan Obyektif
Saat mengetahui adanya lemparan batu dan panah, prajurit TNI yang berada di halaman dalam Markas Koramil meminta massa mundur.
Akan tetapi, permintaan prajurit tersebut tak dipenuhi oleh massa. Bahkan, mereka tetap melampari batu dan panah ke arah dalam halaman.
Selanjutnya, anggota Koramil meminta izin kepada Isak untuk mengusir massa dengan cepat agar personel tak menjadi korban. Izin tersebut disampaikan prajurit secara langsung.
Menurut Andi, permintaan prajurit tersebut dijawab Isak agar menahan diri terlebih dahulu sembari menelepon Kapten Junaid, selaku Danramil yang kebetulan ketika itu tidak berada di tempat.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Minta Para Saksi Dihadirkan dalam Pengadilan HAM Kasus Paniai
Ia mengaku tidak mengetahui apa yang disampaikan dalam pembicaraan keduanya melalui sambungan telepon itu.
Di sisi lain, Andi melihat ada prajurit yang masuk ke dalam kantor Koramil untuk mengambil senjata api laras panjang sembari meminta izin kepada Isak.
“Pabung (Isak) bilang jangan, anggota ribut, ‘ya sudah tapi tunggu perintah’,” ujar Andi.
Setelah mengambil senjata api, anggota tersebut melihat situasi di luar markas semakin tidak terkendali. Prajurit tersebut kemudian melepaskan tembakan peringatan ke arah atas.
Tak lama, Andi melihat salah seorang prajurit menembakkan senjata ke arah massa dengan jarak dekat.
“Akhirnya salah satu langsung anggota mengarahkan senjata secara datar, tidak sampai ada dua meter,” kata dia.
Andi menyebut tembakan jarak dekat tersebut mengenai salah satu massa yang merupakan warga sipil. Korban tergeletak di depan pagar Koramil.
Setelah itu, massa perlahan mundur menjauhkan diri dari markas koramil. Tetapi, anggota TNI tetap mengejar massa.
Bahkan, salah satu massa yang tertinggal di lapangan dekat markas koramil mengalami penikaman yang dilakukan prajurit.
Baca juga: Kontras Yakin Pelaku Pelanggaran HAM Berat Paniai Tak Hanya Seorang
“Saya berdiri dekat dia, yang berangkutan cabut pisau, dia tikam,” ucap Andi.
Tidak berselang lama, Andi kemudian menyelamatkan diri ke Polsek setempat yang berada tak jauh dari Markas Koramil.
Sebelumnya, penyidik telah berhasil mengumpulkan alat bukti sesuai Pasal 183 juncto 184 KUHAP sehingga membuat terang adanya peristiwa pelanggaran HAM berat di Paniai tahun 2014.
Pelanggaran itu berupa pembunuhan dan penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dan h juncto Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Peristiwa pelanggaran HAM berat terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer yang secara de jure dan/atau de facto berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya serta tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukannya.
Selain itu, Isak juga tidak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sebagaimana dimaksud Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Kejadian tersebut mengakibatkan jatuhnya korban, yakni empat orang meninggal dunia dan 21 orang mengalami luka-luka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.