Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Sayap-sayap Patah dan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat

Kompas.com - 04/09/2022, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PARUH 1970-an, setiap menemani kakek mengambil uang pensiunnya ke Kantor Pos Besar Kota Malang, Jawa Timur, sebagai pensiunan Mobil Brigade (kini Brimob Polri) ada rasa “kesenangan” yang luar biasa.

Biasanya kakek tidak akan lupa untuk mampir ke pasar barang bekas di Comboran. Comboran hingga sekarang masih dipenuhi lapak-lapak yang menjual barang bekas.

Galibnya, kakek akan menuruti keinginan saya untuk membeli mainan – walau bekas – untuk nantinya akan diperbaiki lagi agar lebih bagus.

Kakek hanya sanggup membelikan mainan bekas karena besaran uang pensiunnya harus dibagi-bagi untuk keperluan yang lain.

Setiap pulang mengambil uang pensiun, kami berjalan kaki melewati Toko Oen di Kawasan Kajoetangan (sekarang Jalan Basuki Rahmat) untuk sekadar “menghirup” bau sate ayam yang sedang dibakar.

Betul, kami hanya menghirup saja asap bakaran sate di restoran legendaris di Malang tersebut karena memang kakek saya tidak akan mampu membeli sate ayam bertarif mahal untuk makanan dan minuman yang dijualnya.

Kalau pun saya merengek ingin sate ayam, kakek pasti akan membelikannya di pedagang sate asal Madura yang menjadi langganannya. Selain enak, tentu saja berporsi banyak dan murah.

Murah, selalu menjadi kosakata pilihan kakek saya dan menurun ke ayah saya yang pensiunan TNI-AD. Bagi kami keluarga pensiunan Polri dan tentara, ajian kata “murah” selalu ditempuh untuk menyiasati kehidupan dari penghasilan yang “pas-pasan”.

Kini, kakek dan ayah saya sudah lama wafat, tetapi menyisahkan kisah kebanggaan bagi kami sekeluarga.

Kami bisa menamatkan pendidikan, berkeluarga dan mandiri karena kakek saya bukan pensiunan sebagai Kepala Divisi Propam Polri seperti pecatan Irjen Pol. Ferdy Sambo atau pensiun sebagai Kapolres Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Kombes Edwin Hatorangan Hariandja yang keduanya diberhentikan tidak dengan hormat.

Beruntung kami tidak dibesarkan dengan sogokan uang judi dan uang narkoba walau kami ketika kecil begitu marah dengan olokan “prit jigo”.

Kakek dan ayah saya sudah begitu bangga dengan pangkat bintaranya dan pensiun dengan bangga. Bukan berpangkat melati tiga atau bintang dua, tetapi dipecat dengan tidak hormat!

Prit jigo adalah olokan untuk polisi yang menerima uang Rp 25, karena telah membebaskan pelanggar lalu lintas.

Nilai mata uang Rp 25 kala itu sangat besar walau sekarang telah bermetamorfosis menjadi “prit milyaran” seperti kasus Kapolres Bandara Soekarno Hatta yang menerima suap Rp 3,9 miliar dari narkoba yang disita anak buahnya.

Menyaksikan film layar lebar “Sayap-Sayap Patah” yang tengah diputar di berbagai bioskop di tanah air, kita seperti diajak “mentertawakan” antara polisi idealis yang ada dalam cerita film dengan polisi yang layak diberhentikan dengan tidak hormat.

Aji yang diperankan Nicholas Saputra adalah gambaran perwira muda polisi yang begitu idealis.

Sebagai anggota Densus 88, hampir sebagian besar hidupnya dihabiskan dalam memburu sel-sel jaringan teroris. Sementara Nani yang diperankan Ariel Tatum menjadi personifikasi istri polisi yang nrimo.

Melihat tayangan “sayap-Sayap Patah”, penonton serasa diingatkan menjadi polisi itu begitu mulia. Waktu pribadinya dihabiskan untuk melindungi rakyat dari ancaman teroris.

Andai saja ada ratusan polisi mirip “Aji” saya kira rakyat akan bangga dengan korps berbaju cokelat tersebut.

“Sayap-Sayap Patah” juga mengingatkan penonton bahwa masih ada polisi yang baik di tengah merosotnya reputasi Polri di mata masyarakat.

Bayangkan saja, film mengambil kejadian nyata dari peristiwa pemboman kantor Polres Surabaya dan kerusuhan tahanan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok (2018).

Lima personel Polri yang gugur dalam peristiwa tersebut menjadi bukti mereka bertaruh nyawa dalam menjalankan tugasnya memberi pengayoman dan rasa aman di masyarakat.

Pasti penonton yang sudah menyaksikan tayangan film “Sayap-Sayap Patah” akan mengidolakan kesederhanaan Aji.

Selain berparas ganteng, Aji juga berperilaku ksatria. Mengedepankan panggilan tugas sekalipun Nani istrinya tengah hamil tua.

Kediaman polisi muda ini berada di tengah pemukiman padat dengan hidangan yang cukup semenjana.

Saya tidak melihat Aji mengenakan baju merek “Burberry” seharga 470 dolar AS atau setara Rp 7 juta sepotongnya atau Nani menggamit tas “Gucci” seharga Rp 17 juta.

Andai saja ada personel polisi seperti Aji, Ridwan dan polisi yang baik di sekitaran Irjen Pol Ferdy Sambo, tentu tidak ada puluhan polisi yang terseret dalam pusaran kasus Duren Tiga.

Saya tidak bisa membayangkan ada personel polisi peraih Adhi Makayasa ikut pula terseret dalam skenario jahat Ferdy Sambo.

Pemberhentian Tidak Dengan Hormat

Pemerintahan era Soeharto selain menyisahkan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga terbiasa menggunakan bahasa sebagai alat politik.

Kenaikan harga bahan bakar minyak disebutnya sebagai “penyesuaian harga”, padahal harganya jelas-jelas naik.

Dipaksa mundur karena rakyat sudah tidak menghendaki lagi berkuasa, dibilangnya mandeg pandhito. Masak orang diminta mundur karena rakyat sudah muak dengan perilaku KKN-nya pantas disebut pandhito?

Istilah PTDH alias pemberhentian dengan tidak hormat jika mengacu pada Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri adalah salah satu sanksi pelanggaran kode etik yang dijatuhkan kepada polisi pelanggar.

Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH tersebut akan dikenakan kepada anggota yang melanggar kode etik.

Pelanggaran yang dimaksud sebagai berikut: dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri; diketahui kemudian memberikan keterangan palsu atau tidak benar pada saat mendaftarkan diri sebagai calan anggota Polri.

Selain itu, PTDH direkomendasikan untuk personel Polri yang melakukan usaha atau perbuatan yang nyata-nyata bertujuan untuk mengubah Pancasila, terlibat dalam gerakan, atau melakukan perbuatan yang menentang negara dan/atau pemerintah Indonesia; melanggar sumpah/janji anggota Polri, sumpah/janji jabatan dan atau kode etik profesi Polri; meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu lebih dari 30 hari kerja secara berturut-turut.

Demikian pula melakukan perbuatan dan berperilaku yang dapat merugikan dinas kepolisian, antara lain, berupa; kelalaian dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, dengan sengaja dan berulang-ulang dan tidak menaati perintah atasan, penganiayaan terhadap sesama anggota Polri, penggunaan kekuasaan di luar batas, sewenang-wenang, atau secara salah, sehingga dinas atau perseorangan menderita kerugian bisa dikenakan PTDH.

PTDH juga dijatuhkan untuk perbuatan yang berulang-ulang dan bertentangan dengan kesusilaan yang dilakukan di dalam atau di luar dinas dan kelakuan atau perkataan di muka khalayak ramai atau berupa tulisan yang melanggar disiplin.

Melakukan bunuh diri dengan maksud menghindari penyidikan dan atau tuntutan hukum atau meninggal dunia sebagai akibat tindak pidana yang dilakukannya.

Demikian pula menjadi anggota atau pengurus partai politik yang diketahui kemudian telah menduduki jabatan atau menjadi anggota partai politik dan setelah diperingatkan atau ditegur masih tetap mempertahankan statusnya tersebut juga layak menerima PTDH.

Dijatuhi hukuman disiplin lebih dari tiga kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Polri juga pantas mendapat PTDH.

Tidak hanya itu, PTDH juga dapat dikenakan bagi polisi pelanggar kewajiban dan larangan yang telah ditetapkan bagi anggota Polri (Beritasatu.com, 25 Agustus 2022).

Jika menilik kadar kesalahan Irjen Pol Ferdy Sambo yang menjadi otak pembunuhan Brigadir Yosua beserta polisi-polisi yang terlibat dalam obstruction of justice atau upaya menghalang-halangi proses hukum seperti Mantan Kasubbagaudit Baggaketika Rowaprof Divisi Propam Polri Kompol Chuck Putranto dan Mantan Kasubbagriksa Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri Kompol Baiquni Wibowo, mereka memang layak mendapat PTDH.

Menurut saya, saatnya di era keterbukaan seperti ini mereka memang tidak layak mendapat hormat lagi.

Perilaku tercela mereka sangat merusak nama baik institusi. Harusnya istilah PTDH direvisi saja menjadi PTSM alias “Perbuatan Tercela Sangat Memalukan”.

Belum lagi reda kasus Sambo serta belum terkuaknya misteri “Kerajaan Sambo dan Konsorsium 303”, publik tercengangkan dengan perilaku personel polisi di tingkat bawah seperti Polsek Penjaringan, Jakarta Utara.

Secara kompak dan berjamaah, Kepala Unit Reserse Kriminal (Kanit Reskrim) AKP M. Fajar dan tujuh anak buahnya menjadi backing judi online (Kompas.com, 02/09/2022).

Mereka jelas layak tidak mendapat kehormatan sebagai bhayangkara negara. Mereka pantas menyandang “perbuatan tercela sangat memalukan”.

Di tingkat polres, kelakuan Kapolres Bandara Soekarno Hatta Kombes Edwin Hatorangan Hariandja yang “sudi” menerima uang dari hasil narkoba jelas sangat memalukan nama institusi yang dinaunginya.

Polisi yang mau terima sogokan dari narkoba seperti melupakan dan masa bodoh dari efek buruk narkoba.

Entah apa yang dipikiran Kombes Edwin Hatorangan Hariandja, jika pengguna narkoba adalah kerabatnya sendiri.

Personel yang tega membunuh, menjadi pelindung bandar judi atau malah menjadi kaki tangan bandar narkoba pantas menerima pemecatan karena “perbuatan tercela sangat memalukan”.

Publik masih menanti terus sikap tegas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menindak tegas personelnya tanpa pandang bulu.

Janji Kapolri yang akan “memotong kepala jika tidak mampu membersihkan ekor” masih dinanti pendamba keadilan.

“Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapapun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak. Lebih baik hidup melarat daripada menerima suap atau korupsi” – Jenderal Pol. Hoegeng Imam Santoso (Kapolri 1968 – 1971).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Nasional
Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Nasional
Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Nasional
Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Nasional
Kuasa Hukum Caleg Jawab 'Siap' Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Kuasa Hukum Caleg Jawab "Siap" Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Nasional
Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Nasional
Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com