Bahkan, sejak 2014 Polri, yang disampaikan Wakapolri Badrudin Haiti ketika itu (Kompas.com, 29/04/2014), mengeluarkan surat edaran mengenai pelarangan penugasan ajudan untuk para Kapolres dan direktur di Polda, serta jajaran di bawahnya.
Ini dalam rangka setiap anggota Polri harus bertugas dan diberdayakan dengan lebih efisien dalam kerja-kerja kepolisian.
Praktik-praktik kuno semacam ini lambat laun merongrong profesionalitas kerja kepolisian. Kerja tugas-tugas negara akan terhambat hanya karena mengurusi kepentingan pribadi.
Masalah relasi struktur yang tidak relevan ini juga memengaruhi psikologis, baik atasan maupun bawahan.
Atasan merasa superior dengan kepangkatannya dan merasa berhak memerintah “apa pun” hingga mengarah pada eksploitasi. Sedangkan bawahan tentu merasa diri inferior dan ketakutan sehingga selalu menuruti “apa pun” perintah atasan.
Pada kasus ini, Irjen FS berkat status pangkatnya masih bisa bersiasat dengan melibatkan anggota-anggota Polri lainnya.
Berupaya mengaburkan tempat kejadian perkara (TKP) dan bukti lainnya yang krusial dalam proses hukum.
Di sisi lain, ketakutan masih mengintai Bharada E. Saat proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pun, ia masih ragu menyatakan yang ia ketahui, hingga keterangannya kerap berubah-ubah.
Apabila relasi eksploitatif ini terus terjadi, jalannya kepolisian ke depan akan semakin tidak sehat. Kasus ini cukup menjadi catatan kelam yang terakhir bagi kepolisian Indonesia, yang seharusnya tak pernah terjadi, apalagi di tingkat institusi Polri dan Profesi dan Pengamanan (Propam).
Reformasi kultur menjadi prioritas. Warisan budaya yang justru membuat bobrok institusi dan menciderai profesionalitas kerja harus dihentikan.
Dimulai dengan mereformasi relasi antara atasan dan bawahan. Saatnya menyudahi budaya relasi antar-keduanya yang tidak relevan, apalagi mengarah pada eksploitasi dan perintah unlawful.
Antar-anggota perlu menyadari hak dan kewajiban masing-masing, serta bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi).
Di internal Polri, relasi antaranggota serta antar-atasan dan bawahan harus berlandaskan hukum dan bersifat humanis.
Perlu ada kebijakan tegas untuk mengubah kultur eksploitasi antaranggota menjadi hubungan yang adil dan proporsional.
Relasi antaranggota yang mengarah pada pemanfaatan bawahan untuk kepentingan-kepentingan pribadi atasan atau pimpinan harus dihentikan segera dan jangan diberikan ruang lagi.
Kita, publik, masih bisa toleran dan memaklumi jika hanya satu atau beberapa buah busuk yang jatuh. Tapi jika terlampau banyak, itu menandakan pohonnya bermasalah.
Reformasi hubungan kerja yang bersifat kelembagaan pun harus segera dilakukan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.