Oleh: MC Ninik Sri Rejeki dan Olivia Lewi Pramesti*
KASUS pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J tampaknya terus
menyedot perhatian publik.
Hari demi hari bergulirnya pengungkapan kasus membuat publik penasaran untuk mengikuti perkembangannya. Baik melalui media mainstream ataupun melalui media sosial.
Satu hal yang menarik adalah dinamika pergeseran pengungkapan fakta mulai dari laporan tentang tembak-menembak antara Brigadir J dan Bharada E (Richard Eliezer) hingga fakta penembakan yang berakibat terbunuhnya Brigadir J.
Usai Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mengumumkan penetapan tersangka Irjen Pol Ferdy Sambo, Selasa (9/8/2022), publik semakin tertarik akan pengungkapan lebih lanjut untuk melihat apa motif yang sebenarnya di balik pembunuhan tersebut.
Ketertarikan publik terlihat dari pencarian dengan keyword “Sambo”, “Motif Sambo”, “Brigadir J”, “Pembunuhan Brigadir J”, dan sebagainya. Kata-kata kunci inilah yang akhirnya memenuhi laman pencarian baik di Google maupun media sosial lainnya.
Alhasil, hingga Kamis (11/8) kemarin, peristiwa ini masih menjadi trending di Google hingga Twitter.
Publik kemudian ikut mengawal pengusutan kasus secara tuntas yang dapat mendorong Polri berusaha lebih keras mengungkap kebenaran.
Dari hari ke hari, opini publik bergeser dari peristiwa tembak-menembak ke peristiwa penembakan.
Opini sebagian publik awalnya adalah peristiwa tembak-menembak sebagaimana skenario yang dikemukakan oleh Ferdy Sambo. Sementara opini tentang fakta pembunuhan berencana dalam posisi marjinal.
Namun ketika media mulai menyampaikan fakta lain yang dikemukakan oleh pengacara dan keluarga Brigadir J, sedikit demi sedikit, opini publik bergeser ke arah fakta baru.
Media aktif menyampaikan perkembangan pengungkapan fakta, mulai dari kejanggalan tewasnya Brigadir J, otopsi ulang, pembentukan timsus dan irsus yang melihat dugaan pelanggaran etika profesi karena kesalahan prosedur, hingga pelibatan Komnas HAM, Kompolnas dan LPSK.
Pergeseran opini dari tembak-menembak ke arah pembunuhan berencana dengan penembakan tak lepas dari pengaruh media.
Sebagaimana dikemukakan oleh Menko Polhukam Mahfud MD bahwa skenario atas tewasnya Brigadir J sudah terbalik berkat dukungan media (Noor, 2022).
Menurut Mahfud MD, skenario tewasnya Brigadir J mulai terungkap berkat dukungan dan pengawalan dari media dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat.
Selain itu setiap media menghadirkan konten yang kurang lebih serupa dengan media lainnya. Media mainstream baik cetak, elektronik, maupun online berlomba menghadirkan kasus terbaru dari kasus pembunuhan ini.
Tak terkecuali, media sosial seperti Twitter,Youtube hingga Tiktok, yakni platform yang tengah digandrungi warganet Indonesia khususnya generasi Z. Mereka tidak hanya tertarik mengikuti kasus tersebut, namun juga berkomentar.
Dari hasil penelitian Hakobyan (2020), media sosial menjadi platform yang dapat bermain di ranah publik dan privat, yakni pengguna dapat mengungkapkan opini melalui status dan pesan yang bersifat privat maupun publik.
Dari pagi hingga malam hari, media menyajikan berita dalam format program bermacam-macam, sehingga tayang berulang kali dan relatif terus-menerus.
Dari saluran satu ke saluran lain kurang lebih kontennya sama. Hal ini tentu saja akan memperkuat efek pada khalayak.
Dengan sifat media yang ubiquity, cumulativeness, dan consonance tersebut, maka media mampu mem-blow up sebuah isu, sehingga dapat membangun opini mayoritas atau membebaskan yang terbungkam untuk berani bersuara.
Demikian pula dalam kasus tewasnya Brigadir Josua. Opini publik dalam bentuk komentar-komentar yang disampaikan melalui media pada gilirannya akan memperkuat agenda media dalam memberitakan sebuah kasus.
Agenda publik pada gilirannya berpengaruh pada agenda media. Dalam konteks ini media sosial mengambil peran yang signifikan.
Dengan kata lain digitalisasi komunikasi berkaitan erat dengan fenomana spiral of silence.
Konsumsi informasi melalui media sosial Twitter, Tiktok, Youtube, ataupun media sosial lainnya menjadi tren pascameningkatnya penggunaan internet di Indonesia.
Hingga awal 2022 ini, berdasarkan data dari Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII), lebih dari 80 persen total pengguna adalah mereka yang berada di rentang usia 19-34 tahun.
Menariknya, pengguna pada rentang usia ini mulai menyukai isu-isu politik, ekonomi, pendidikan, hingga sosial yang dibalut dengan menarik di masing-masing platform.
Akhirnya mereka turut bersuara ketika ada berita yang viral. Suara-suara inilah yang akhirnya menjadi perbicangan publik yang kemudian diperhatikan seksama oleh warganet.
Bahkan pembicaraan mereka yang viral berpotensi memengaruhi tindakan dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Kasus kematian Brigadir J memunculkan banyak respons dari publik. Kasus ini menarik warganet di kalangan generasi Z karena “dekat” dengan dunia mereka.
Kasus ini adalah pembunuhan sadis dengan teka-teki, di mana generasi pengguna Z suka menonton film dengan genre tersebut.
Film bergenre ini terkesan lebih menantang dan membutuhkan perhatian serius. Layaknya menonton film, mereka penasaran dengan bagaimana cara Polri menyelesaikan teka-teki ini atau mengungkap kejahatan.
Tak hanya itu, motif, dalang, hingg aktor lain yang terlibat menjadi hal yang menarik bagi mereka. Warganet yang sama sekali tidak saling mengenal sama-sama membicarakannya.
Ada perasaan bersama yang dibangun dari mereka seperti sedih, marah, kecewa, bangga dengan Polri, miris dan perasaan lainnya.
Perasaan inilah yang akhirnya menghubungan mereka untuk menjalin komunikasi bersama di media sosial.
Komunikasi ini ditunjukkan dengan banyaknya postingan gambar dan tulisan berkaitan dengan pihak-pihak terlibat.
Mereka berkomentar dengan persepsi masing-masing, menunjukkan emosi, like, hingga share ke teman lainnya.
Aktivitas-aktivitas ini dilakukan hingga warganet memiliki wacana tersendiri soal kematian ini. Wacana ini ada yang bersifat positif maupun negatif.
Platform media sosial tampaknya menjadi acuan generasi Z untuk melihat perkembangan kasus ini. Kecepatan informasi di media sosial lebih dilirik ketimbang di media mainstream.
Padahal, sebelum media sosial ini benar-benar gencar, media mainstream masih menjadi rujukan utama.
Media mainstream menyusun agenda media dengan seleksi ketat, atau akrab disebut agenda setting.
Sementara itu, bila kita tengok kemunculan awal teori Agenda Setting, media memprioritaskan sebuah isu tertentu dan berupaya menjadikan isu tersebut menjadi agenda publik. Media berupaya kuat menjadikan isu tersebut bisa diperhatikan oleh publiknya.
Di era teknologi ini, agenda media pun dibentuk dari apa yang disebut dengan agenda diffusion (Weimman, G.,& Brosius, H., 2021).
Agenda diffusion ini tergantung dari keaktifan audiens menggunakan komunikasi interpersonal di media mereka. Agenda setting yang baru pun dibentuk dari pesan komunikasi yang dibentuk di dalamnya.
Menengok peristiwa pembunuhan Brigadir J, agenda publik di media sosial sangat mungkin memengaruhi agenda media (mainstream).
Para editor hingga jurnalis tak bisa lepas dari perbincangan publik di media sosial. Isu-isu pembunuhan Brigadir J banyak bertebaran di platform media sosial.
Komunikasi interpersonal antarwarganet saling terjalin mengomentari isu ini.
Postingan gambar dan tulisan muncul dengan wacana masing-masing yang akhirnya mengerucut pada perbincangan yang sama soal pembunuhan Brigadir J.
Bahkan wacana yang ditampilkan, mungkin saja bisa lebih cepat atau tidak ditampilkan di media mainstream.
Sayangnya wacana yang dimunculkan di media sosial belum tentu bisa diverifikasi kebenarannya.
Tidak adanya filter informasi ataupun seleksi isu membuat publik bisa berspekulasi masing-masing atas kasus ini.
Akibatnya, warganet bisa tergiring isu yang tidak benar. Persoalan ini menjadi peluang bagi media mainstream untuk bisa menggiring publik ke agenda yang benar.
Masyarakat masih berharap bahwa agenda media diperlukan untuk mengungkapkan kebenaran.
Kendati media mainstream juga mengumpulkan fakta dari perbincangan warga di media sosial, namun media mainstream ketat dengan seleksi informasi dan verifikasi.
*Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.