Dari pagi hingga malam hari, media menyajikan berita dalam format program bermacam-macam, sehingga tayang berulang kali dan relatif terus-menerus.
Dari saluran satu ke saluran lain kurang lebih kontennya sama. Hal ini tentu saja akan memperkuat efek pada khalayak.
Dengan sifat media yang ubiquity, cumulativeness, dan consonance tersebut, maka media mampu mem-blow up sebuah isu, sehingga dapat membangun opini mayoritas atau membebaskan yang terbungkam untuk berani bersuara.
Demikian pula dalam kasus tewasnya Brigadir Josua. Opini publik dalam bentuk komentar-komentar yang disampaikan melalui media pada gilirannya akan memperkuat agenda media dalam memberitakan sebuah kasus.
Agenda publik pada gilirannya berpengaruh pada agenda media. Dalam konteks ini media sosial mengambil peran yang signifikan.
Dengan kata lain digitalisasi komunikasi berkaitan erat dengan fenomana spiral of silence.
Konsumsi informasi melalui media sosial Twitter, Tiktok, Youtube, ataupun media sosial lainnya menjadi tren pascameningkatnya penggunaan internet di Indonesia.
Hingga awal 2022 ini, berdasarkan data dari Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII), lebih dari 80 persen total pengguna adalah mereka yang berada di rentang usia 19-34 tahun.
Menariknya, pengguna pada rentang usia ini mulai menyukai isu-isu politik, ekonomi, pendidikan, hingga sosial yang dibalut dengan menarik di masing-masing platform.
Akhirnya mereka turut bersuara ketika ada berita yang viral. Suara-suara inilah yang akhirnya menjadi perbicangan publik yang kemudian diperhatikan seksama oleh warganet.
Bahkan pembicaraan mereka yang viral berpotensi memengaruhi tindakan dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Kasus kematian Brigadir J memunculkan banyak respons dari publik. Kasus ini menarik warganet di kalangan generasi Z karena “dekat” dengan dunia mereka.
Kasus ini adalah pembunuhan sadis dengan teka-teki, di mana generasi pengguna Z suka menonton film dengan genre tersebut.
Film bergenre ini terkesan lebih menantang dan membutuhkan perhatian serius. Layaknya menonton film, mereka penasaran dengan bagaimana cara Polri menyelesaikan teka-teki ini atau mengungkap kejahatan.
Tak hanya itu, motif, dalang, hingg aktor lain yang terlibat menjadi hal yang menarik bagi mereka. Warganet yang sama sekali tidak saling mengenal sama-sama membicarakannya.
Ada perasaan bersama yang dibangun dari mereka seperti sedih, marah, kecewa, bangga dengan Polri, miris dan perasaan lainnya.
Perasaan inilah yang akhirnya menghubungan mereka untuk menjalin komunikasi bersama di media sosial.
Komunikasi ini ditunjukkan dengan banyaknya postingan gambar dan tulisan berkaitan dengan pihak-pihak terlibat.
Mereka berkomentar dengan persepsi masing-masing, menunjukkan emosi, like, hingga share ke teman lainnya.