KOMPAS.com – Justice collaborator adalah pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus tindak pidana tertentu yang terorganisir dan menimbulkan ancaman serius.
Tindak pidana tertentu yang dimaksud seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana terorganisir yang lain.
Justice collaborator dapat disebut juga sebagai saksi pelaku yang bekerja sama.
Berikut contoh kasus-kasus justice colaborator.
Baca juga: Apa Itu Justice Collaborator?
Terpidana kasus pencucian uang PT Asian Agri, Vincentius Amin Sutanto dinyatakan bebas bersyarat pada 11 Januari 2013.
Ia dinyatakan bebas setelah Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi berkat perannya sebagai justice collaborator dalam pengungkapan kasus penggelapan pajak PT Asian Agri.
Sesuai aturan, Vincent telah menjalani dua per tiga dari hukuman yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung, yaitu 11 tahun penjara. Ia divonis bersalah pada 3 April 2008 lalu dalam kasus pencucian uang di PT Asian Agri.
Berkat informasi Vincent, kasus penggelapan pajak PT Asian Agri terungkap. Mahkamah Agung pun telah menjatuhkan hukuman penjara dua tahun kepada Manajer Pajak PT Asian Agri, Suwir Laut.
Selain itu, MA juga memerintahkan 14 perusahaan yang berada di bawah Asian Agri Group untuk membayar ganti rugi kepada negara, berupa dua kali lipat dari utang pajak yang dimilikinya, dengan jumlah ganti rugi mencapai Rp 2,5 triliun.
Mantan anggota DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan, Agus Condro, menjadi justice collaborator untuk kasus suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 yang dimenangkan Miranda Goeltom.
Perkara korupsi yang menjerat lebih dari 26 anggota DPR periode 1999-2004 itu terbongkar berdasarkan informasi dari Agus.
Ia melaporkan penerimaan cek senilai Rp 500 juta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan telah ia serahkan ke lembaga anti korupsi tersebut.
Dalam kasus ini, sejumlah pelaku telah divonis bersalah termasuk Miranda Goeltom, yang dihukum tiga tahun penjara.
Proses peradilan terhadap Agus pun tetap berjalan. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis bersalah dan hukuman penjara selama satu tahun tiga bulan kepada Agus pada 16 Juni 2011.
Pada 25 Oktober 2011, Agus mendapatkan bebas bersyarat setelah menjalani dua per tiga masa tahanannya dan ditambah remisi.
Pembebasan bersyarat ini juga menjadi bentuk penghargaan bagi Agus karena telah berperan menjadi justice collaborator.
Baca juga: Keuntungan menjadi Justice Collaborator dan Syaratnya
Mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil, Sugiharto, menjadi justice collaborator dalam kasus korupsi pada pengadaan e-KTP.
Meski menjadi justice collaborator, keduanya tetap menjalani proses peradilan.
Di tingkat pertama, Irman dan Sugiharto masing-masing divonis tujuh tahun dan lima tahun penjara pada 20 Juli 2017.
Keduanya dinyatakan terbukti bersalah terlibat dalam korupsi e-KTP yang merugikan negara dan masyarakat hingga Rp 2,3 triliun.
Majelis hakim menyatakan mempertimbangkan status keduanya sebagai justice collaborator sehingga hukuman yang dijatuhkan sama dengan tuntutan jaksa KPK.
Namun, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman terhadap Irman dan Sugiharto menjadi masing-masing 15 tahun penjara.
Selain itu, Irman juga dibebankan denda Rp 500 juta subsider delapan bulan kurungan dan uang pengganti sebesar 500.000 dollar Amerika Serikat dan Rp 1 miliar.
Sementara itu, Sugiharto dibebankan uang pengganti sebesar 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta.
Sebagai justice collaborator, Irman dan Sugiharto telah memberikan keterangan yang signifkan dalam pengungkapan kasus.
Keterangan keduanya telah membantu mengungkap pelaku lain yang berperan lebih besar, termasuk mantan Ketua DPR, Setya Novanto.
Meski begitu, perbuatan para terdakwa dianggap bersikap masif dan menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional membuat dampaknya masih dirasakan oleh masyarakat hingga saat ini.
Oleh karena itu, majelis hakim menjatuhkan vonis yang lebih berat dari putusan di tingkat pertama.
Hingga kini, kasus ini masih bergulir.
Referensi: