TAK terasa Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 semakin dekat. Tontonan yang didambakan masyarakat Indonesia adalah adu debat para calon presiden (capres) di layar kaca televisi.
Mengadu mereka yang berambisi menjadi presiden untuk berdebat secara terbuka lewat siaran televisi memang secara ekonomis-bisnis lukratif untuk diperjualbelikan di pasar bebas sebagai produk industri hiburan seperti adu jotos antara manusia di ring tinju sampai adu jangkrik di gelanggang perjudian. Secara politis untuk kepentingan negara, manfaatnya selalu bisa dipertanyakan.
Kemampuan berdebat seseorang mungkin dibutuhkan untuk menjadi pengacara atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetapi tidak terlalu relevan untuk menjadi seorang kepala negara. Seorang yang pintar debat seperti Adolf Hitler atau Mussolini terbukti justru menjadi para kepala negara yang sangat buruk.
Baca juga: Memori Proses Pilpres 2004, dari Debat Capres hingga Pemungutan Suara
Yang utama dibutuhkan seorang kepala negara sebenarnya bukan keahlian berdebat tetapi kemampuan dan kemauan memimpin tatalaksana suatu lembaga kepemerintahan luar biasa kompleks meliputi anekaragam bidang mulai dari keamanan, ketertiban, kesejahteraan, keadilan, perumahan, kependudukan, kependidikan, keagamaan, sampai kemanusiaan.
Apalagi debat termasuk suatu kemampuan yang sulit bahkan mustahil diukur secara akurat tepat, benar dan baku seperti mengukur kemampuan seorang olahragawan berlari, melompat, melempar atau mengangkat. Prestasi olahraga memang lebih bisa diukur secara akurat berdasarkan kaidah ukuran yang telah disepakati bersama, ketimbang prestasi debat.
Adu debat capres sebagai produk andalan industri hiburan dipelopori oleh Amerika Serikat (AS) yang memang terdepan maka terunggul dalam industri hiburan di planet Bumi.
Namun sebenarnya patetis alias menyedihkan campur menggelikan bagaimana masing-masing kelompok pendukung capres sibuk mengklaim tokoh junjungan masing-masing berhasil mengalahkan tokoh lawan politik masing-masing. Bahkan demi memengaruhi skor menggunakan jalur jajak pendapat yang hasilnya bisa dibeli sesuai kehendak pembeli. Sehingga, yang tampil pada kenyataan adu debat pilpres akhirnya tidak ada yang kalah sebab semua (harus) menang.
Namun selama masyarakat masih senang menonton adu debat pilpres tentu sah-sah sajalah apabila adu debat pilpres yang sebenarnya mubazir untuk memilih capres yang baik tetap diselenggarakan di persada Nusantara tercinta ini.
Yang penting rakyat merasa terhibur dan pemilik perusahaan TV serta perusahaan event-organizer adu debat bisa memetik keuntungan dana berlimpah dari kegiatan adu debat sebagai produk lukratif industri hiburan selaras sukma pragmatisme serta kapitalisme sejati: Maju tak gentar, membela yang bayar!
Merdeka!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.