Dalam sejarah, para petani di Banten tercatat beberapa kali memberontak terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Yakni pada 1850, 1888, dan 1926.
Akan tetapi, pemberontakan paling besar tercatat terjadi pada 9 Juli 1888.
Menurut buku Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirjo, sebelum pemberontakan terjadi, Banten mengalami berbagai musibah secara beruntun pada 1882 hingga 1884.
Musibah itu adalah kelaparan, meletusnya Gunung Krakatau, dan wabah penyakit sampar (pes) yang di antara hewan ternak, hingga konflik tanah.
Baca juga: Evaluasi Haji 2022 dan Kritik Pemerintah hingga DPR
Kelaparan terjadi karena musim kemarau berkepanjangan sehingga menyebabkan tanaman tidak tumbuh. Ditambah lagi dengan penyebaran pes yang membuat hewan ternak rakyat mati.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu memerintahkan supaya seluruh hewan ternak di Banten dibunuh, termasuk yang tidak terinfeksi.
Kebijakan itu membuat rakyat kecewa karena mereka juga tidak diberi ganti rugi.
Di sisi lain, kebijakan membunuh seluruh hewan ternak menimbulkan masalah baru. Sebab karena banyaknya jumlah hewan ternak yang dibunuh, tidak seluruh bangkainya bisa dikubur.
Alhasil banyak bangkai hewan ternak itu dibiarkan terbengkalai. Kondisi itu justru memicu penyebaran penyakit baru.
Baca juga: Kemenag: Total Jemaah Haji Wafat 64, Bertambah 2 Orang
Saat itu tercatat sebanyak 120.000 penduduk tertular penyakit pes, dan 40.000 di antaranya meninggal.
Penderitaan rakyat bertambah saat Gunung Krakatau meletus pada 1883 dan memicu gelombang tsunami setinggi 30 meter.
Akibat tsunami itu, wilayah Anyer, Merak, dan Caringin tersapu. Korban jiwa dilaporkan mencapai 22.000 jiwa.
Belum usai penderitaan, pemerintah kolonial menetapkan aturan pajak baru pada 1884 kepada penduduk. Mulai dari pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar, dan pajak jiwa, yang besarnya di luar kemampuan penduduk.
Selain itu, praktik korupsi di antara para pegawai pemerintah kolonial membuat amarah masyarakat semakin bertumpuk.
Baca juga: Pulang dari Tanah Suci, 2 Jemaah Haji Asal Magetan Dilaporkan Positif Covid 19
Di tengah segala kesulitan itu, masyarakat setempat yang masih mempercayai takhayul mulai memberi sesaji di sebuah pohon yang mereka keramatkan.