JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Masduki Baidlowi mengatakan, pengaruh seorang haji secara sosial dan politik di masa kolonial sangat luas.
Salah satu peristiwa yang menjadi bukti peranan haji untuk menentang penjajahan dan menggerakkan perlawanan rakyat adalah peristiwa pemberontakan petani Banten pada 1888 atau Geger Cilegon.
"Sejarah perlawanan petani Banten itu adalah perlawanan para haji," kata Masduki saat dihubungi Kompas.com, Senin (25/7/2022).
Masduki mengatakan, pengaruh seorang haji di masa kolonial sangat kuat dari segi politik dan sosial.
Sebab saat seorang Muslim melakukan perjalanan untuk menunaikan haji pada saat itu, maka taruhannya adalah nyawa.
"Itu kan perjalanan haji kan lama, perjuangannya juga hidup mati," ucap Masduki.
Menurut Masduki, banyak jemaah haji yang wafat di dalam perjalanan menuju Makkah di masa lampau.
Penyebabnya pun beragam. Mulai dari hilang atau tersesat, kelaparan akibat kehabisan perbekalan, dirampok, dan beragam faktor lainnya.
Selain itu, mereka yang pada masa itu menunaikan haji juga sambil memperdalam ilmu agama kepada sejumlah ulama di Tanah Suci.
"Makanya orang-orang yang pulang haji dianggap daya hidupnya secara fisik lebih tinggi, secara batin secara keagamaan lebih unggul," ujar Masduki.
"Orang yang pulang dari haji sangat dihormati karena dia orang istimewa, baik secara ilmu agama maupun secara survival (bertahan hidup)," ujar Masduki.
Apalagi pada awal abad ke-20 mulai muncul berbagai paham perlawanan terhadap kolonialisme.
Salah satu paham yang berkembang saat itu adalah Pan-Islamisme. Para haji dari Hindia Belanda juga terpengaruh dengan paham itu saat belajar di Tanah Suci.
Alhasil ketika mereka kembali, pemerintah kolonial Hindia Belanda merasa cemas dan menyematkan gelar haji untuk mempermudah mengawasi orang-orang yang diperkirakan hendak memberontak.
"Di zaman Belanda, haji diawasi dan dibatasi karena pengaruhnya sangat besar di antara rakyat," ucap Masduki.
Pemberontakan petani Banten 1888
Dalam sejarah, para petani di Banten tercatat beberapa kali memberontak terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Yakni pada 1850, 1888, dan 1926.
Akan tetapi, pemberontakan paling besar tercatat terjadi pada 9 Juli 1888.
Menurut buku Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirjo, sebelum pemberontakan terjadi, Banten mengalami berbagai musibah secara beruntun pada 1882 hingga 1884.
Musibah itu adalah kelaparan, meletusnya Gunung Krakatau, dan wabah penyakit sampar (pes) yang di antara hewan ternak, hingga konflik tanah.
Kelaparan terjadi karena musim kemarau berkepanjangan sehingga menyebabkan tanaman tidak tumbuh. Ditambah lagi dengan penyebaran pes yang membuat hewan ternak rakyat mati.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu memerintahkan supaya seluruh hewan ternak di Banten dibunuh, termasuk yang tidak terinfeksi.
Kebijakan itu membuat rakyat kecewa karena mereka juga tidak diberi ganti rugi.
Di sisi lain, kebijakan membunuh seluruh hewan ternak menimbulkan masalah baru. Sebab karena banyaknya jumlah hewan ternak yang dibunuh, tidak seluruh bangkainya bisa dikubur.
Alhasil banyak bangkai hewan ternak itu dibiarkan terbengkalai. Kondisi itu justru memicu penyebaran penyakit baru.
Saat itu tercatat sebanyak 120.000 penduduk tertular penyakit pes, dan 40.000 di antaranya meninggal.
Penderitaan rakyat bertambah saat Gunung Krakatau meletus pada 1883 dan memicu gelombang tsunami setinggi 30 meter.
Akibat tsunami itu, wilayah Anyer, Merak, dan Caringin tersapu. Korban jiwa dilaporkan mencapai 22.000 jiwa.
Belum usai penderitaan, pemerintah kolonial menetapkan aturan pajak baru pada 1884 kepada penduduk. Mulai dari pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar, dan pajak jiwa, yang besarnya di luar kemampuan penduduk.
Selain itu, praktik korupsi di antara para pegawai pemerintah kolonial membuat amarah masyarakat semakin bertumpuk.
Di tengah segala kesulitan itu, masyarakat setempat yang masih mempercayai takhayul mulai memberi sesaji di sebuah pohon yang mereka keramatkan.
Seorang tokoh masyarakat setempat, Haji Wasid, memutuskan menebang pohon itu dengan alasan tidak ingin membiarkan praktik kemusyrikan menyebar di antara masyarakat.
Akibatnya, Haji Wasid diadili pada 18 November 1887.
Murid dan pengikut Haji Wasid semakin tersinggung saat mengetahui menara musala di Jombang Tengah dirubuhkan atas perintah Asisten Residen Johan Hendrik Hubert Goebels.
Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan mengganggu ketenagan masyarakat.
Karena berbagai kondisi itu para ulama dari Serang, Cilegon, hingga Tangerang mulai bertemu.
Tokoh-tokoh dalam pemberontakan itu adalah Haji Marjuki, Haji Asnagari, Haji Iskak, Haji Wasid, Haji Tubagus Ismail Haji Sa'is, Haji Sapiuddin, Haji Madani, Haji Halim, Haji Mahmud, Haji Iskak, Haji Muhammad Arsad, dan Haji Tubagus Kusen.
Serangan dimulai pada 9 Juli 1988 pada malam hari. Kelompok pemberontak dibagi menjadi 3.
Ada yang menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan, ada yang menyerbu kepatihan, dan ada yang menyerang rumah asisten residen.
Mereka adalah Henri Francois Dumas (juru tulis asisten residen), Raden Purwadiningrat (ajun kolektor), Johan Hendrik Hubert Gubbels (asisten residen Anyer), Mas Kramadireja (sipir penjaga Cilegon), dan Ulri Bachet (kepala penjualan garam).
Pemerintah pusat di Batavia yang mendengar kabar itu kemudian mengirim satu batalion pasukan infantri yang mendarat di Pelabuhan Karangantu. Selain itu, mereka juga mengirimkan pasukan berkuda atau kavaleri.
Karena kalah persenjataan, para pemberontak yang bersenjatakan golok hingga tombak perlahan-lahan dipukul mundur dan ditangkap pasukan Hindia Belanda.
Pertempuran terus terjadi hingga para pemimpin pemberontakan Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail terdesak. Keduanya tewas dalam pertempuran.
Pemberontakan berakhir setelah 11 orang pemberontak yang ditangkap dihukum gantung. Sedangkan 94 orang lainnya dibuang ke berbagai tempat hingga ajal menjemput.
(Penulis: Widya Lestari Ningsih | Editor: Nibras Nada Nailufar)
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/25/15160071/peran-para-haji-di-pemberontakan-petani-banten-1888