Bagaimana tidak, masyarakat, subjek yang pada akhirnya akan memilih, terbukti tidak memiliki ruang untuk bisa terlibat jauh dalam menentukan nama-nama Capres yang diajukan oleh para parpol tersebut.
Situasi yang tentu saja disayangkan karena seolah-olah, proses kandidasi memang hanya bisa dilakukan secara elitis.
Beberapa parpol menyampaikan bahwa mereka telah mendengarkan aspirasi dari daerah, khususnya melalui struktur terendah di masing-masing partai seperti Dewan Pimpinan Cabang (DPC).
Namun demikian, pada akhirnya, nama-nama yang dicalonkan oleh sebagian besar partai tidak akan jauh-jauh dari nama ketua umum/tokohnya masing-masing.
Jelas, proses tersebut justru membuktikan bahwa proses kandidasi Capres dan Cawapres merupakan pelampiasan hasrat politik masing-masing parpol.
Lagi pula, tidak ada publikasi terbuka dari masing-masing struktur terendah partai yang bisa diakses oleh publik yang menunjukkan bahwa mereka benar-benar menyaring aspirasi dari masyarakat melalui prosedur dan metodologi yang melibatkan masyarakat seluas-luasnya.
Proses pemenuhan aspirasi masyarakat dan aspirasi parpol tentang Capres dan Cawapres, dengan demikian, terdiskoneksi sejak di titik ini.
Persoalan dimulai ketika sejauh ini, parpol menganggap bahwa wajahnya di masyarakat telah sama ekspresifnya dengan wajah parpol di parlemen dan struktur internal, meski secara teknis parpol hanya melakukan pemberian bantuan tertentu secara langsung seperti sembako dan bantuan bencana alam kepada masyarakat.
Padahal, kegiatan tersebut baru menempatkan masyarakat sebagai subjek pasif. Belum sebagai subjek aktif.
Ironisnya, meski situasi tersebut sesungguhnya membahayakan sistem politik kita di masa mendatang, tetapi toh tetap berulang.
Padahal, dalam konteks politik elektoral, khususnya dalam fase penjajakan seperti yang dipertontonkan oleh para petinggi parpol dalam blok masing-masing, masyarakat mestinya tidak ditempatkan hanya sebagai penonton seperti yang terjadi saat ini.
Penguatan wajah parpol di masyarakat, sebagaimana diinisiasi oleh Katz dan Mair, oleh karenanya, bisa menjadi solusi untuk mengatasi persoalan tersebut.
Masyarakat tentu perlu diberdayakan agar lebih produktif. Misalnya dengan diajak untuk menjadi individu yang lebih sadar akan hak-hak politiknya, khususnya untuk ikut menentukan Capres dan Cawapres yang akan mengatur hidupnya selama 5 tahun ke depan.
Adapun secara teknis, setidak-tidaknya, parpol bisa melakukan dialog dengan masyarakat seluas-luasnya terlebih dulu.
Pada akhirnya, jika situasi ini benar-benar bisa diupayakan, sesungguhnya parpol justru sedang kembali pada salah satu tujuan pendiriannya yang demikian mulia, yaitu untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat.