Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bintang Kejora dan Prahara Gus Dur dengan Kapolri Surojo Bimantoro

Kompas.com - 23/07/2022, 11:01 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu babak yang membuat masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur disorot adalah perseteruannya dengan Kapolri Raden Surojo Bimantoro pada 2001.

Akibat konflik itu, Gus Dur mencopot Bimantoro dan menggantinya dengan Jenderal Chairuddin Ismail.

Akan tetapi, Bimantoro melawan karena menilai proses penggantian yang dilakukan Gus Dur melanggar aturan.

Seperti dirangkum Kompas.com dari berbagai sumber, awal mula konflik antara Gus Dur dengan Bimantoro terjadi akibat persoalan bendera Bintang Kejora.

Baca juga: Bintang Kejora dan Prahara Gus Dur dengan Kapolri Surojo Bimantoro

Pada saat itu Gus Dur mencoba melakukan pendekatan berbeda untuk meredam pertikaian bersenjata antara aparat keamanan dengan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua.

Salah satu caranya adalah Gus Dur membuat kesepakatan dengan sejumlah tokoh di Papua dan membolehkan mengibarkan bendera Bintang Kejora yang menjadi lambang OPM pada 1 Desember.

Menurut Gus Dur, bendera Bintang Kejora mirip dengan umbul-umbul yang berkibar ketika pertandingan sepak bola.

Baca juga: Disanjung lalu Dijatuhkan, Kisah Gus Dur Dilengserkan MPR 21 Tahun Lalu

Akan tetapi, Gus Dur menetapkan syarat pengibaran bendera Bintang Kejora harus berada di bawah bendera Merah Putih.

Gus Dur juga mengubah penyebutan pulau itu dari Irian Jaya menjadi Papua. Keputusan itu disambut baik oleh para tokoh masyarakat Papua.

Kendati demikian, tidak semua kalangan sepakat terhadap kebijakan Gus Dur terhadap Papua, terutama TNI dan Polri.

Gus Dur meminta TNI tak perlu risau karena pengibaran bendera Bintang Kejora tidak lebih tinggi dari bendera Merah
Putih.

Bimantoro adalah salah satu orang yang tidak sepaham dengan cara Gus Dur menangani Papua, terutama terkait pengibaran bendera Bintang Kejora.

Baca juga: Cerita Gus Yahya Tak Bisa Makan meski Punya Uang, Akhirnya “Kabur” ke Istana Gus Dur

Hal itu yang dinilai menjadi awal keretakan hubungan antara Gus Dur dan Bimantoro. Padahal, Gus Dur yang mengusulkan Bimantoro menjadi Kapolri kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kemudian dilantik pada 23 September 2000.

Hubungan Gus Dur dan Bimantoro semakin memburuk ketika Polri dianggap mengulur proses penyidikan kasus pembelian saham ganda.

Polri saat itu juga menahan 2 petinggi perusahaan asuransi berkewarganegaraan Kanada yang dituduh terlibat dalam perkara itu.

Baca juga: Langkah Gus Dur Copot JK dan Laksamana Sukardi Berujung Murka Koalisi

Persoalan itu kemudian membuat hubungan diplomatik antara Indonesia dan Kanada menghangat.

Gus Dur meminta Menteri Luar Negeri Alwi Shihab menyelesaikan persoalan itu tetapi gagal.

Kasus yang membelit 2 warga Kanada itu baru berakhir setelah Jaksa Agung Marzuki Darusman ikut turun tangan.

Menurut penjelasan dalam buku Menjerat Gus Dur karya Virdika Rizky Utama, sikap Bimantoro terkait penyelidikan terhadap perkara yang menyangkut 2 WN Kanada itu diduga sarat kepentingan.

Baca juga: Mengenang Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia dalam Perayaan Imlek

Persoalannya adalah saat itu Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga Bimantoro terlibat penggelembungan harga pembelian senapan serbu AK dari Rusia, senilai Rp 49,9 miliar.

Pembelian senapan AK diduga menyalahi proses demiliterisasi Polri yang mulai diterapkan sejak Juli 2000. Penyebabnya adalah AK merupakan senapan serbu standar tempur yang seharusnya hanya boleh digunakan militer.

Selain itu, pembelian senapan AK juga dilakukan secara diam-diam.

“Pembelian itu dilakukan tanpa meminta izin presiden, tetapi hanya dengan meminta persetujuan wapres. Ini jelas mengadu domba presiden dan wapres,” tulis Virdika (halaman 289).

Dicopot

Konflik Gus Dur dengan Bimantoro semakin meruncing saat suhu politik nasional semakin memanas.

Saat itu Gus Dur dituding terlibat dalam skandal korupsi Bruneigate dan Buloggate. Namun, Kejaksaan Agung menyatakan tidak menemukan bukti Gus Dur terlibat korupsi di dua perkara itu.

Di sisi lain, saat itu DPR menerbitkan Memorandum II untuk mempertanyakan sejumlah kebijakan Gus Dur yang dinilai tidak sesuai aturan.

Sikap DPR itu menuai reaksi keras dari kalangan pendukung Gus Dur yang sebagian besar berada di Jawa Timur.

Baca juga: Di Acara Haul Ke-12, Yenny Wahid: Kekuatan Terbesar Gus Dur Menertawakan Diri Sendiri

Mereka menduga langkah DPR dengan menerbitkan memorandum hanya akal-akalan pihak yang kontra dengan Gus Dur, serta para pendukung Orde Baru.

Para pendukung Gus Dur pun akhirnya beberapa kali menggelar unjuk rasa dan terlibat beberapa kali bentrokan dengan aparat kepolisian.

Pada suatu waktu, seorang pendukung Gus Dur di Pasuruan tewas tertembak oleh polisi.

Gus Dur kemudian murka dan mengatakan Bimantoro tak bisa mengendalikan anak buahnya. Sebab, menurut laporan korban penembakan itu sedang berada di warung makan.

Alhasil, Gus Dur menonaktifkan Bimantoro pada Mei 2001. Dia kemudian menunjuk Inspektur Jenderal Chairuddin Ismail yang saat itu menjabat Wakil Kapolri sebagai Kapolri pada 2 Juni 2001.

Padahal, Gus Dur sebelumnya sudah menghapus jabatan Wakapolri melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 54/2001 pada 1 April 2001.

Baca juga: Gus Dur Tidak Bisa Dipisahkan dari Papua, Ada di Dalam Hati Semua Masyarakat Papua

Bimantoro kemudian menolak proses pencopotannya dan pelantikan Chairuddin. Sebab, untuk melantik Kapolri baru seharusnya Gus Dur berkonsultasi terlebih dulu dengan DPR.

Gus Dur kemudian mengumumkan pemberhentian Bimantoro dari jabatan Kapolri tepat pada Hari Bhayangkara, 1 Juli 2001. Dia menyatakan akan menugaskan Bimantoro sebagai Duta Besar di Malaysia.

Bimantoro kembali menolak pernyataan Gus Dur.

Akibatnya terjadi dualisme di tubuh Polri. Sebanyak 102 jenderal menyampaikan pernyataan tidak ingin Polri dipolitisasi.

Bimantoro juga mencoba mencari dukungan politik dengan menemui Ketua DPR Akbar Tanjung dan Ketua MPR Amien Rais.

Gus Dur kemudian melantik Chairuddin sebagai Pemangku Sementara Jabatan Kapolri pada 20 Juli 2001. Sehari kemudian, Gus Dur menerbitkan Keppres Nomor 77/2001 sebagai dasar hukum pengangkatan Chairuddin.

Baca juga: Mahfud: Pelengseran Gus Dur Tidak Sah dari Sudut Hukum Tata Negara

Sikap Gus Dur yang melantik Chairuddin menuai penolakan dari 7 fraksi di DPR, yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, Fraksi Reformasi, fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (PDU), fraksi Partai Bulan Bintang (PBB), dan fraksi KKI.

Mereka mendesak Ketua MPR Amien Rais untuk mempercepat pelaksanaan Sidang Istimewa (SI).

Alhasil MPR memutuskan mencopot Gus Dur dari jabatannya sebagai presiden, tanpa melalui mekanisme hukum atau proses pengadilan, pada 23 Juli 2001.

Megawati menggantikan posisi Gus Dur sebagai Presiden, dengan Wakil Presiden Hamzah Haz.

Dia juga mencopot Chairuddin dari jabatannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Spesifikasi 2 Kapal Patroli Cepat Terbaru Milik TNI AL

Spesifikasi 2 Kapal Patroli Cepat Terbaru Milik TNI AL

Nasional
Jokowi Panen Ikan Nila Salin di Tambak Air Payau di Karawang

Jokowi Panen Ikan Nila Salin di Tambak Air Payau di Karawang

Nasional
Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum Caleg yang Mendebatnya

Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum Caleg yang Mendebatnya

Nasional
Kejar Pemerataan Dokter Spesialis, Kemenkes Luncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis RS Pendidikan

Kejar Pemerataan Dokter Spesialis, Kemenkes Luncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis RS Pendidikan

Nasional
Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin jika Menjanjikan

Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin jika Menjanjikan

Nasional
Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Nasional
Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Nasional
Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Nasional
Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com