"Jadi oleh karena itu media yang memuat kritik tanpa ada solusi bisa kena delik," tutur Azyumardi.
Ia mengaku sempat mempertanyakan pasal itu kepada pemerintah. Namun, saat itu pemerintah menyatakan bahwa kritik yang disampaikan tidak harus disertai solusi.
Azyumardi khawatir, pasal tersebut seperti pasal karet yang bisa dikenakan kepada siapa pun dengan maksud untuk melakukan kriminalisasi seperti Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
Baca juga: Anggota Komisi III Harap RKUHP Segera Disahkan, tapi Tetap Butuh Masukan Publik
"Pemerintah ketika saya tanya soal ini dia bilang, 'Ya, enggak harus begitu,' tapi pengalaman kita pasal seperti itu pasal karet yang ada di UU ITE," ujar Azumardi.
Dalam penjelasan Pasal 218 ayat 2 disebutkan definisi kritik adalah penyampaian pendapat terhadap kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan.
Penjelasan selanjutnya, ayat (2) pasal itu meminta kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif.
Kritik juga harus tidak memiliki niat jahat untuk merendahkan atau menyerang martabat atau menyinggung karakter pribadi Presiden dan Wakil Presiden.
Azyumardi juga meminta Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah dihapus dari RKUHP.
Baca juga: RKUHP Bakal Disahkan, Wamenkumham: Jika Ada yang Mengganjal, Silakan ke MK
Sebab menurut dia rancangan aturan itu berpotensi menjadi "pasal karet" dan berpotensi mengkriminalisasi pers.
"Harus dihapus karena sifatnya karet dari kata 'penghinaan' dan 'hasutan sehingga mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi," ujar Azyumardi.
(Penulis : Singgih Wiryono | Editor : Dani Prabowo, Krisiandi, Icha Rastika)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.