Sebaliknya, apabila selisih anggaran antara diversi dan non diversi ternyata tidak terpaut jauh, maka dibutuhkan perancangan ulang untuk mengoptimalkan alokasi anggaran diversi oleh Ditjen Pemasyarakatan.
Ketiga, mengacu riset, kesepakatan tentang besaran ganti rugi dari pelaku kepada korban dan proses pencairannya ternyata lebih mudah dicapai dan dijalankan pada kasus-kasus pidana yang dituntaskan lewat diversi.
Lagi-lagi, dibutuhkan kajian tentang hal yang sama untuk memastikan seberapa jauh keberpihakan pada nasib korban (spesifik terkait restitusi) dapat direalisasikan melalui penyelenggaraan diversi di Tanah Air.
Sekiranya diversi juga diwarnai oleh alotnya upaya mencapai kesepakatan, ditambah lagi dengan berbelit-belitnya pelaku saat memenuhi kewajiban restitusinya, maka ini bukan gambaran tentang manfaat ideal diversi. Ini pula area optimalisasi yang patut didahulukan.
Spesifik pada isu ketiga di atas, optimalisasi tidak mutlak harus dilakukan pada aspek restitusi semata.
Membayangkan bahwa membayar restitusi pun sudah menjadi kesulitan luar biasa yang harus ditunaikan oleh (sebagian) pelaku, maka mungkin perlu dilakukan pergeseran dari restitusi ke kompensasi.
Artinya, ketika terjadi tindak pidana yang korbannya adalah anak-anak (sesuai kriteria UU SPPA), sistem peradilan pidana perlu berpikir tentang keharusan bagi negara (cq. pemerintah) untuk menyegerakan pembayaran ganti rugi.
Kerangka kerja sedemikian rupa merupakan revisi dari praktik yang ada saat ini, di mana restitusi mendahului kompensasi.
Hitung-hitungan di atas kertas, kompensasi mendahului restitusi akan mempersingkat masa penderitaan korban sekaligus memperlekas proses pemulihan dirinya.
Perlunya kesegeraan negara dalam membayar ganti rugi (kompensasi) juga diharapkan akan mendesak negara untuk lebih kuat lagi memastikan perlindungan bagi kelompok-kelompok masyarakat, khususnya anak-anak, dari berbagai bentuk viktimisasi pidana.
Penting untuk dipahami bahwa revisi UU SPPA, dengan fokus pada optimalisasi pendampingan sesuai kebutuhan real (berbasis data) sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya bukan hanya kebutuhan Kemenkumham.
Polri pun berkepentingan untuk itu, sebagai konsekuensi dari problem solving dan restorative justice yang merupakan salah satu komitmen Kapolri.
Namun khusus pada penyelenggaraan diversi bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum, Kemenkumham (cq. Balai Pemasyarakatan, Bapas) memang memiliki peran penting. Di Bapas-lah sesi-sesi mediasi biasanya diselenggarakan.
Karena itulah Pemerintah sepatutnya memasok anggaran lebih besar bagi Ditjen Pemasyarakatan, yang menaungi Bapas, agar dapat terus-menerus menyempurnakan tahap-tahapan diversi guna mencapai tiga kemanfaatan restorative justice.
Kita ulangi sekali lagi: lewat optimalisasi penyelenggaraan diversi, sebagai pengejawantahan restorative justice, kita mengharapkan tingkat residivisme rendah, penghematan anggaran penegakan hukum, dan lancarnya proses pemulihan kehidupan korban berkat kompensasi dan restitusi yang maksimal. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.