JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengonfirmasi perlunya antisipasi terhadap potensi konflik sosial antarwilayah adat akibat pemekaran Papua.
Tito mengakui bahwa pemekaran Papua tidak mungkin memuaskan semua pihak.
"Saya paham itu (perlunya antisipasi konflik)," ujar eks Kapolda Papua itu ketika ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (30/6/2022).
"Saya minta semua tokoh bisa (memahami), ini (pemekaran Papua) kan enggak mungkin akan memuaskan semua pihak," lanjutnya.
Baca juga: Pemekaran Diprediksi Picu Konflik Sosial di Papua Tengah
Tito menganggap bahwa pengesahan 3 provinsi baru di Papua, meliputi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan sudah melalui proses panjang, walaupun faktanya hanya dibahas 2,5 bulan sejak rancangan undang-undangnya disahkan sebagai inisiatif DPR RI pada 12 April 2022.
"Tapi sudah panjang. Diskusi dilakukan, komunikasi dilakukan," kata Tito.
Jauh sebelumnya, ide pemekaran Papua ini memang dikritik karena tak melewati kajian mendalam, termasuk kajian antropologis terkait wilayah adat.
Di Papua, secara garis besar, hingga kini ada 7 wilayah adat yang diidentifikasi.
Potensi konflik yang paling nyata diidentifikasi di Papua Tengah.
Baca juga: Massa Demo di Gedung DPRD, Tuntut Timika Jadi Ibu Kota Provinsi Papua Tengah
DPR memilih Nabire sebagai ibu kota Papua Tengah karena dianggap dapat menjadi jalan pemerataan ekonomi, ketimbang Timika di Kabupaten Mimika yang dinilai sudah relatif baik secara ekonomi karena berdekatan dengan PT Freeport.
Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia mengakui bahwa 2 dari 8 bupati di kawasan yang akan jadi Provinsi Papua Tengah mendukung Mimika sebagai ibu kota, sementara sisanya disebut mendukung Nabire.
Mayoritas wilayah Papua Tengah, seperti Mimika, merupakan wilayah adat Meepago.
Sementara itu, wilayah Nabire, secara adat, lebih dekat dengan wilayah adat Saireri (utara) yang meliputi Yapen Waropen, Biak, dan Serui.
Baca juga: Hanya Butuh 2,5 Bulan, DPR Sahkan 3 Provinsi Baru di Papua
"Di Nabire sendiri ada beberapa kelompok yang berbeda pendapat menolak jadi ibu kota provinsi, maunya gabung dengan Saireri. Perbedaan pendapat ini akan menimbulkan konflik," ungkapnya.
Pegiat hak asasi manusia sekaligus pemuka Gereja Kristen Injil (GKI) Tanah Papua, Dora Balubun mengeklaim bahwa potensi konflik itu tercermin pula di level elite ketika Komisi II DPR RI berkunjung ke Merauke dan Jayapura pada akhir pekan lalu dan mengundang para kepala daerah membicarakan pemekaran Papua.
"Itu beberapa bupati bersitegang, seperti Bupati Nabire dan Mimika, untuk siapa yang ibu kotanya menjadi ibu kota provinsi," kata dalam jumpa pers Koalisi Kemanusiaan untuk Papua, Kamis siang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.