Eddy mengatakan ada sejumlah kendala dalam menyusun dan meneliti kembali draf RKUHP sebelum diserahkan kepada DPR.
Apalagi RKUHP berisi 628 pasal yang beberapa di antaranya ada yang saling terkait.
Eddy mengatakan, menemukan sejumlah kekeliruan dalam draf sehingga tidak bisa membuka kepada masyarakat sebelum diserahkan ke DPR.
"Mengapa kita belum serahkan? Itu masih banyak typo. Dibaca, kita baca," kata Eddy.
Baca juga: Pemerintah Jawab Mahasiswa yang Desak Draf Terbaru RKUHP Dibuka
Eddy mengatakan, proses meneliti draf RKUHP memakan waktu karena dilakukan secara rinci buat menghindari kekeliruan fatal.
Dia mencontohkan ada pasal yang dihapus, tetapi ternyata masih ada pasal lain yang merujuk pada pasal yang dihapus tadi.
Hal itu ingin mereka hindari, sehingga proses pembacaan draf masih terus dilakukan.
"Kita enggak mau seperti waktu UU Cipta kerja itu terjadi lho. Bilang ayat sekian, padahal enggak ada ayatnya. Itu yang bikin lama di situ," ucap Eddy.
Baca juga: Pemerintah Disebut Tak Transparan soal RKUHP, KSP: Jangan Suuzan Dulu
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengabulkan sebagian permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
MK menyatakan UU Ciptaker cacat secara formil dan inkonstitusionalitas bersyarat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
MK menemukan fakta hukum terkait perubahan materi RUU Ciptaker secara substansial pasca-persetujuan bersama DPR dan Presiden yang tidak sekadar bersifat teknis penulisan, termasuk juga terdapat salah dalam pengutipan.
Kesalahan itu di antaranya, pasal hilang, kata hilang, perubahan kata, perubahan frasa, perubahan pasal, perubahan judul bab, dan perubahan ketentuan umum.
MK juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan.
Baca juga: Pasal Penghinaan terhadap Pemerintah di RKUHP Dipertahankan, Ini Alasannya
Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.