Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Lia Sundah Suntoso
Pengacara

IDEAS-Indonesia Fellow; Sekjen dan Co-Founder Amerika Bersatu untuk Indonesia; Pendiri forum World Vaccine Update; dan Presiden Asosiasi Pengacara Indonesia di Amerika Serikat

Rekonsiliasi Visi Kebangsaan

Kompas.com - 24/06/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETIKA bersilaturahmi dengan Presiden Jokowi di sela-sela agenda ASEAN-US Summit di Washington DC, Amerika Serikat, Mei lalu; ada yang menyita perhatian saya di antara pesan beliau.

“Tidak ada tempat bagi radikalisme di Indonesia,” katanya kalem, tapi dalam, menyiratkan ketegasan untuk tidak bermain-main dalam hal yang satu itu.

Tulisan saya kali ini adalah sebuah refleksi pribadi penuh harapan bahwa suatu hari terjadi rekonsiliasi di antara segenap elemen bangsa.

Mungkin terasa naif. Apalagi muncul pada saat kontestasi politik di Tanah Air marak eksploitasi politik identitas.

Setidaknya gagasan “rujuk” perlu di ketengahkan untuk sekadar mengingatkan bahwa tidak ada yang salah dengan saling mengerti, tidak saling usil, dan sama-sama menjaga kerukunan.

Saya besar pada era Orde Baru. Meskipun sejarah mencatat pemerintahan Presiden Soeharto sebagai masa penuh represif, ada kalanya justru saya rindukan. Terutama ketika isu suku, agama, dan ras (SARA) kerap menjadi sumber kegaduhan.

Maksud kalimat di atas jangan diartikan sebagai “saya pendukung Orba”. Tapi bagaimana isu-isu yang menimbulkan kegusaran di masyarakat dengan cepat “ditekan” pemerintah. Termasuk isu SARA. Makanya saya kangen saat-saat itu.

Bisa dibilang, saya sendiri adalah studi kasus paling nyata tentang kiprah Soeharto mengeliminasi isu pembuat gaduh.

Sebagai keturunan Tionghoa, saat itu saya nyaris tidak pernah punya masalah dalam keseharian.

Dalam arti, saya menjalani kehidupan normal layaknya orang-orang, apa pun suku dan latar belakangnya.

SARA baru menjadi sesuatu yang harus saya perhatikan justru pasca-Mei 1998. Kerusuhan yang berbuntut lengsernya Presiden Soeharto turut mengangkat isu rasial.

Laporan media massa saat itu menceritakan sekian banyak orang keturunan Tionghoa memilih ke negeri tetangga ketimbang jadi korban. Toko dan rumah mereka dijarah. Ada juga yang dibakar.

Media Tempo memberitakan bagaimana isu rasial berkembang cepat: dugaan bahwa etnis Tionghoa menjadi penyebab krisis moneter mengisi ruang kecurigaan antarwarga.

Kalau memang peristiwa demi peristiwa yang memakan korban dan biaya dianggap sebagai ongkos demokrasi, sungguh tidak sepadan dengan rasa sakit yang terus mengucur. Hingga kini. Apalagi proses untuk menjadi demokrasi yang kokoh terus berjalan.

Dan saat ini, isu SARA malah masih terus dimainkan. Contoh paling membekas dan masih berlanjut ekornya sampai hari ini adalah pemilihan gubernur Jakarta pada 2017 dan berlanjut pada pemilihan presiden 2019.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Nasional
Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Nasional
Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Nasional
Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Nasional
KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

Nasional
KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com