Namun, alih-alih dirampingkan, jumlah kursi wakil menteri justru terus bertambah. Kursi wakil menteri yang sudah terisi di Kabinet Indonesia Maju nyaris menyamai jumlah wamen di pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Oktober 2019 lalu, Mensesneg Pratikno sempat mengatakan bahwa jumlah wakil menteri di kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin tidak akan sebanyak era SBY.
"Kita sedikit. Jaman Pak SBY dulu kan sampai 18 (wamen)," kata Pratikno di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Melihat ini, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai bahwa pengisian kursi wakil menteri menitikberatkan pada kompromi politik.
Ini terlihat dari banyaknya kalangan partai politik pendukung pemerintah yang ditunjuk untuk mengisi kursi-kursi wakil menteri.
Baca juga: Akrabnya Jokowi dan Megawati Saat Reshuffle Kabinet Indonesia Maju di Istana
Padahal, anggaran negara yang dialokasikan untuk wakil menteri tidak sedikit. Akhirnya, wakil menteri hanya menjadi pemborosan uang negara karena perannya tak seberapa dibutuhkan.
"Inilah sebenarnya cerminan bahwa terjadi kompromi-kompromi politik yang itu merugikan keuangan negara, termasuk merugikan rakyat. Rakyat itu tidak butuh wakil menteri, buat apa? Anggaran negara juga habis di situ," kata Ujang kepada Kompas.com, Rabu (15/6/2022).
Memang, menurut Ujang, dalam politik, apa yang dijanjikan belum tentu direalisasikan. Ini sebagaimana wacana Jokowi untuk merampingkan kabinet yang kini hanya tinggal janji.
Di peridoe pertamanya, lanjut Ujang, Jokowi juga pernah melarang ketua umum partai politik menjadi menteri.
Namun, kini, empat ketua umum parpol berkumpul di jajaran kabinet. Mereka yakni Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Ketum Partai Gerindra), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (Ketum Partai Golkar), Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Ketum PAN), dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa (Ketum PPP).
"Maka tidak aneh dan tidak heran bahwa Pak Jokowi pernah mengatakan pemerintahannya harus ramping, tidak mengangkat wamen, tapi faktanya, suka tidak suka, senang tidak senang dia harus berkompromi dengan berbagai macam kelompok kepentingan bahkan partai politik," ucap Ujang.
Ujang berpendapat, reshuffle kemarin tak lepas dari kepentingan Jokowi untuk mengamankan diri hingga akhir masa jabatannya di Oktober 2024.
Reshuffle, lanjut Ujang, juga mempertimbangkan kepentingan politik presiden di Pemilu 2024.
"Jokowi pun perlu dukungan juga terkait misalkan dia nanti mendukung siapa dalam pemcapresan. Dan di saat yang sama, kompromi itu menghasilkan jabatan-jabatan bagi mereka-mereka itu," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.