JAKARTA, KOMPAS.com - Kabinet Indonesia Maju kian gemuk. Jumlah kursi wakil menteri terus bertambah.
Pasca-reshuffle, total ada 50 anggota kabinet yang terdiri dari 34 menteri dan 16 wakil menteri.
Ada tiga wakil menteri yang dilantik Presiden Joko Widodo pada Rabu (16/6/2022). Seluruhnya dari kalangan partai politik.
John Wempi Wetipo dilantik sebagai Wakil Menteri Dalam Negeri. Politisi PDI Perjuangan itu sebelumnya menjabat sebagai Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sejak Oktober 2019.
Jokowi juga melantik Sekretaris Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni sebagai Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Raja Juli menggantikan Wakil Menteri ATR/BPN sebelumnya yang juga rekan satu partainya, Surya Tjandra.
Kemudian, Afriansyah Ferry Noor dilantik presiden sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan. Dia merupakan Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang (PBB).
Dengan pelantikan ketiga wakil menteri ini, susunan wakil menteri terbaru di Kabinet Indonesia Maju menjadi sebagai berikut:
Kendati demikian, masih ada beberapa kursi wakil menteri yang kosong hingga kini. Memang, Presiden Jokowi meneken beberapa peraturan presiden (perpres) tentang jabatan kursi wakil menteri di sejumlah instansi.
Namun, hingga kini masih ada 9 kursi wakil menteri yang belum terisi.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno pernah mengatakan bahwa kursi wakil menteri tidak harus diisi. Kursi wamen diisi hanya jika dibutuhkan.
"Dalam perpres kelembagaan, beberapa kementerian memang ada posisi wakil menteri, tetapi tidak semuanya diisi. Diisi sesuai kebutuhan," kata Pratikno di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (1/12/2021).
Lantas, kursi wamen mana sajakah yang masih kosong? Berikut daftarnya:
Sempat janjikan perampingan
Awal terpilih sebagai presiden, Jokowi sempat mewacanakan perampingan kabinetnya.
Dia bahkan pernah mempertimbangkan untuk menghilangkan jabatan wakil menteri pada pemerintahannya. Jika pun wamen tetap ada, kala itu, Jokowi mengaku lebih senang apabila jabatan itu hanya di beberapa kementerian.
"(Adanya wamen) bukan sedikit beban anggarannya. Jadi, bisa saja dihilangkan atau hanya satu-dua kementerian yang diberi wamen," katanya di Balaikota Jakarta, 12 Agustus 2014 silam.
Namun, alih-alih dirampingkan, jumlah kursi wakil menteri justru terus bertambah. Kursi wakil menteri yang sudah terisi di Kabinet Indonesia Maju nyaris menyamai jumlah wamen di pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Oktober 2019 lalu, Mensesneg Pratikno sempat mengatakan bahwa jumlah wakil menteri di kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin tidak akan sebanyak era SBY.
"Kita sedikit. Jaman Pak SBY dulu kan sampai 18 (wamen)," kata Pratikno di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Kompromi politik
Melihat ini, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai bahwa pengisian kursi wakil menteri menitikberatkan pada kompromi politik.
Ini terlihat dari banyaknya kalangan partai politik pendukung pemerintah yang ditunjuk untuk mengisi kursi-kursi wakil menteri.
Padahal, anggaran negara yang dialokasikan untuk wakil menteri tidak sedikit. Akhirnya, wakil menteri hanya menjadi pemborosan uang negara karena perannya tak seberapa dibutuhkan.
"Inilah sebenarnya cerminan bahwa terjadi kompromi-kompromi politik yang itu merugikan keuangan negara, termasuk merugikan rakyat. Rakyat itu tidak butuh wakil menteri, buat apa? Anggaran negara juga habis di situ," kata Ujang kepada Kompas.com, Rabu (15/6/2022).
Memang, menurut Ujang, dalam politik, apa yang dijanjikan belum tentu direalisasikan. Ini sebagaimana wacana Jokowi untuk merampingkan kabinet yang kini hanya tinggal janji.
Di peridoe pertamanya, lanjut Ujang, Jokowi juga pernah melarang ketua umum partai politik menjadi menteri.
Namun, kini, empat ketua umum parpol berkumpul di jajaran kabinet. Mereka yakni Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Ketum Partai Gerindra), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (Ketum Partai Golkar), Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Ketum PAN), dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa (Ketum PPP).
"Maka tidak aneh dan tidak heran bahwa Pak Jokowi pernah mengatakan pemerintahannya harus ramping, tidak mengangkat wamen, tapi faktanya, suka tidak suka, senang tidak senang dia harus berkompromi dengan berbagai macam kelompok kepentingan bahkan partai politik," ucap Ujang.
Ujang berpendapat, reshuffle kemarin tak lepas dari kepentingan Jokowi untuk mengamankan diri hingga akhir masa jabatannya di Oktober 2024.
Reshuffle, lanjut Ujang, juga mempertimbangkan kepentingan politik presiden di Pemilu 2024.
"Jokowi pun perlu dukungan juga terkait misalkan dia nanti mendukung siapa dalam pemcapresan. Dan di saat yang sama, kompromi itu menghasilkan jabatan-jabatan bagi mereka-mereka itu," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2022/06/16/13395441/kabinet-gemuk-jokowi-dan-wacana-perampingan-yang-tinggal-janji