Padahal cara berpikirnya dapat dicari jalan tengah bahwa Jokowi merupakan tongkat estafet dari Megawati. Jadi, sebetulnya ada mata rantainya dalam lingkaran PDI-P. Di sini PDI-P diuji, apakah mampu menjalankan fungsi partai sebagai sarana pengatur konflik (conflict management) atau malah sebaliknya.
Masalahnya, sebagai putri mahkota, Puan sudah lama digembleng dan dipersiapkan. Momentum Puan juga dianggap tepat mengingat faktor-faktor: kuatnya dan solidnya PDIP, kharisma Megawati, efek ekor jas (coattail effect) Jokowi, dan tentu posisi Puan yang berada di puncak jabatan publik. Menunggu lima tahun lagi, mungkin situasi sudah berbeda. Peluang belum tentu datang dua kali. Namun, semua modal politik itu akhirnya harus berhadapan dengan tingkat elektabilitas Puan.
Mari berandai-andai. Andai Ganjar benar-benar diberi tiket pilpres, urusan pun selesai. Tinggal PDI-P, sebagai mesin politik, punya waktu lima tahun untuk melipatgandakan modal politik Puan. Targetnya pada 2029, Puan betul-betul siap.
Saat itu umur Puan pun baru memasuki 56 tahun. Usia yang benar-benar matang untuk memasuki bursa capres. Hanya terpaut 3 tahun lebih tua dibanding Jokowi saat nyapres pada 2014. Tentu saja ini cerita di atas kertas. Sebab, harus memperhitungkan dinamika dalam lima tahun ke depan yang unpredictable serta manuver partai-partai lain yang juga mengelus-elus jagonya.
Baca juga: Tantangan Puan Maharani Menuju Capres 2024
Lalu, andai Puan keukeuh dicalonkan, tampaknya ada opsi lain. Mengingat posisi elektabilitasnya rendah, bisa saja Puan dipasangkan sebagai calon wapres. Tampaknya tidak mustahil melihat komunikasi dengan Partai Gerindra. Prabowo sudah tak asing lagi dengan PDI-P. Hubungan Megawati dan Prabowo begitu khusus. Prabowo pernah mendampingi Megawati pada Pemilu 2009. Pada Idul Fitri yang baru berlalu, Prabowo sudah bersilaturahmi ke kediaman Megawati. Jadi, kalau Puan mendampingi Prabowo mungkin rasional juga.
Tetapi apakah PDI-P mau menyerahkan posisi presiden untuk Prabowo, padahal PDI-P yang punya tiketnya. Tentu pilihan menyakitkan. Tetapi di politik itu tidak boleh gunakan emosi apalagi sampai baperan (bawa perasaan). Politik itu lumbungnya pikiran taktis. Lagi pula sudah ada preseden. Pada Pemilu 1999, ketika demokrasi masih diwakilkan di Senayan, sebagai pemenang pemilu PDI-P pun menerima kursi wapres (wakil presiden), setelah kalah menghadapi manuver koalisi lain. Megawati baru menjadi presiden setelah Presiden Abdurahman Wahid dilengserkan.
Andai sekarang opsi itu terpaksa diambil PDI-P, maka menjadi pemanasan buat Puan menyongsong kursi presiden di pemilu berikutnya (2029). Saat itu Prabowo pun sudah berusia 78 tahun. Dalam sepuluh tahun ini, kita sudah menyegarkan kepemimpinan nasional. Maksudnya saat ini usia presiden sudah tergolong muda, masih segar, tidak lagi tua. Kita tak ingin lagi terjadi praktik gerontokrasi ketika orang-orang tua memegang kendali pemerintahan. Namun dengan syarat apabila pasangan tersebut menang pilpres.
Mengenai pasangan calon memang menarik. Sejumlah lembaga survei pun bikin simulasi perkawinan pasangan. Contohnya, Poltracking menyusun tiga simulasi (16-22 Mei 2022). Pertama, Ganjar-Erick (27,6 persen), Prabowo-Puan (20,7 persen), dan Anies-Agus Harimurti Yudhoyono (17,9 persen). Kedua, Ganjar-Sandiaga Uno (26,7 persen), Prabowo-Erick (22,5 persen), dan Anies-Puan (12,2 persen). Simulasi ketiga, Ganjar-Erick (26,4 persen), Prabowo-Puan (19,8 persen), dan Anies-Sandiaga (18,9 persen).
Angka-angka itu sekadar gambaran saja. Memang tidak sedikit yang memandang sinis pada hasil survei, terutama bila elektabilitasnya rendah. Tidak seharusnya survei dilihat sebagai sesuatu yang final. Bukan juga dicurigai sebagai bandwagon effect, efek ikutan bahwa hasil survei untuk mempengaruhi. Perlakukan saja survei (asumsinya kredibel) untuk membaca prediksi, melihat peta dukungan, dan membaca tren di lapangan.
Terlepas dari kemelut internal partai dan hasil survei, tentu saja keputusan pengusungan calon PDI-P merupakan otoritas Megawati. Selain berpegang pada hasil survei, kalkulasi politik, dan juga insting akan menjadi pertimbangan. Memutuskan “putri mahkota” atau “petugas partai”, tentu harus siap dengan segala risikonya. Dengan pengalamannya yang luas, insting politik Megawati tak sedikit terbukti tepat, karena memadukan aspek rasionalitas. Salah satunya saat memberi tiket pilpres kepada Jokowi tahun 2014.
Seperti Jokowi, Ganjar bukan “darah biru”. Ganjar adalah “petugas partai”, seperti halnya Jokowi. Seperti Jokowi juga, Ganjar memiliki elektabilitas tertinggi dalam survei-survei. Dalam berbagai kasus, Ganjar memperlihatnya dirinya adalah banteng sejati.
Saat digoda kemungkinan diusung koalisi lain, Ganjar bilang, “Aku PDI Perjuangan!” Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto pun secara retoris mengingatkan partai lain agar tidak melakukan pembajakan. Jadi mungkinkah Megawati mengulangi peristiwa 2014?
Atau sebaliknya Ganjar akan “terbuang”. Apakah Ganjar bakal menjadi ronin, karena tidak punya tuan pelindungnya. Dalam tradisi Jepang zaman feodal abad ke-12 hingga ke-19, ronin adalah prajurit samurai yang kehilangan tuannya (daimyo) atau kehilangan hak istimewanya. Karena tidak ada patron, samurai-samurai itu pun berkelana menjadi pengembara. Ada yang liar dan menggelandang, tetapi ada yang menjadi petarung hebat.
Ronin paling masyhur adalah Musashi (1584-1645), yang novelnya ditulis Eiji Yoshikawa. Dalam pengembaraannya, sebagai orang bebas, Musashi justru sangat legendaris karena mampu menaklukkan lawan-lawannya. Akankah Ganjar menjadi ronin yang tanpa tuan, jika benar-benar putri mahkota yang akan diputuskan?
Saya sih kurang yakin. Apalagi di seberang sana tak sedikit tuan-tuan (baca: koalisi partai lain) saling mengamati gerak-gerik kompetitornya. Ibarat pepatah PDI-P pun bisa keliru melepaskan punai di tangan demi mengejar sesuatu yang belum pasti. Maka, di sinilah pentingnya bersiasat. Politik tak cukup adu kuat dan adu cepat saja. “Mencegah kekalahan tergantung pada diri kita, sedangkan peluang untuk menang dikondisikan pula oleh musuh,” kata jenderal ahli strategi perang asal China, Sun Tzu.
Kalau hitungan mistik, Ganjar kemungkinan terhindar dari kesulitan, setelah nama kecilnya Sungkowo (arti: belasungkawa, dikaitkan dengan kesusahan) diganti Pranowo oleh orangtuanya. Pra berarti sebelum, sedangkan Nowo berarti sembilan. “Sebelum sembilan” mungkin maksudnya bisa “delapan”. Jokowi adalah presiden RI yang ketujuh. Dan, Pilpres 2024 nanti mencari Presiden RI yang kedelapan. Nah loh!
Tenang! Itu cuma ilmu “cocoklogi” berbau mistik saja. Sedangkan politik itu rasional. Kalau rasional bertemu mistik, mungkin koinsiden saja. Di Indonesia, dengan alam pikiran tradisi agraris, memang terkadang mistik suka bercampur dengan pikiran rasional. Istilahnya klenik politik. Ah, daripada mikirin klenik, mending kita tunggu saja titah Megawati, apakah Ganjar diganjar menjadi putra mahkota atau malah terbuang menjadi ronin seperti Musashi?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.