Siapa yang meragukan kekuatan logistik Hary Tanoesoedibjo (ketua umum Perindo), Tommy Soeharto (eks ketua umum Berkarya), Oesman Sapta Odang (ketua umum Hanura).
Dengan kata lain, terdapat tipe modal lain yang idealnya saling berkait kelindan. Selain aset keuangan, partai nonparlemen mesti mengemas tokoh sentralnya sebagai icon simbolik untuk menarik perhatian pemilih. Latar belakang figur partai menjadi jangkar elektoral.
Magnetnya terpantul pada atraksi personal, atribut kultural, reputasi, karisma, dan rekam jejaknya.
Profil pengurus inti dengan segala artikulasi politiknya ikut menentukan kredibilitas serta perwajahan partai.
Di sisi lain, partai tak perlu ragu memberikan “karpet merah” kepada caleg-caleg yang prospektif maupun mitra strategis gerakan.
Jaringan komunitas dan gerbong organisasi lintas warna dapat dikonversi menjadi modal sosial.
Tak hanya itu, rebranding partai merupakan elemen komplementer untuk menampilkan unsur diferensiasi, bahkan kebaruan.
Fakta sosiologis masyarakat Indonesia yang plural meniscayakan pilihan “ideologi” partai agar berwatak terbuka dan moderat.
Secara praktis, brand-identity diterjemahkan ke dalam gagasan programatik, agenda aksi, dan pemberdayaan komunitas.
Partai nonparlemen dapat memanfaatkan kecanggihan teknopolitik secara optimal untuk menyampaikan narasi kreatif di hadapan audiens yang beragam.
Di sinilah signifikansi pola komunikasi, teknik periklanan, dan strategi kampanye di tengah laga demokrasi digital. Partai akan semakin terekspos media ketika ia terlibat dalam berbagai isu-isu aktual.
Kalau partai hanya bersikap pasif, diam dan hanya bersemedi di menara gading, maka eksistensinya akan hilang dan terlupakan.
Manakala lonceng diskursus terus dibunyikan oleh lapisan komunikator (ide) parpol di ruang publik, walhasil partai akan diingat khalayak ramai. Substansinya, datanglah sebagai pembawa solusi, bukan penambah masalah.
Dari segi pasar elektoral, parpol nonparlemen berpeluang membidik suara swing voters (pemilih mengambang), dan undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan).
Apalagi derajat kedekatan warga dengan partai yang diyakininya (party identification) di Indonesia tergolong rendah. Maka, parpol nonparlemen harus mengonstruksi diri sebagai pilihan alternatif.