Hanya 33,6 persen yang mengetahuinya, bahkan di luar Jawa hanya 31,5 persen.
Kurangnya sosialisasi dan transparansi dana kelurahan membuat kemanfaatan dan urgensinya untuk pengembangan sarana-prasarana maupun pemberdayaan warga disikapi secara berbeda.
Separuh warga kelurahan (51 persen)merasakan manfaat dana kelurahan, namun cukup banyak juga yang tidak merasakan manfaatnya dan tidak tahu.
Baca juga: Realisasi Dana Kelurahan Masih Rendah, Ini Penyebabnya
Hal ini membuat warga juga cukup ragu dalam memandang urgensi keberadaan dana kelurahan.
Memang, terbanyak (50 persen) memandang perlu, tetapi selebihnya menilai tidak perlu dan tidak tahu.
Pemerintahan kelurahan dapat dikatakan menjadi penopang pelayanan birokrasi dan fasilitas lingkungan penduduk kota.
Dengan pertumbuhan penduduk kota yang proporsinya semakin besar, kelurahan akan menjadi basis pelayanan yang makin vital bagi kota.
Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, sebanyak 56,7 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan pada 2020.
Baca juga: Kasus Covid-19 Naik, Kampanye Protokol Kesehatan dan Vaksinasi Harus Digencarkan
Persentase tersebut diprediksi terus meningkat menjadi 60 persen pada 2025 dan menjadi 66,6 persen pada 2035.
Dengan proyeksi pertumbuhan penduduk kota tersebut, seberapa siap kelurahan menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik? Kesiapan ini tentu saja perlu didukung oleh dana, selain juga kinerja yang memadai, transparansi, dan kemampuan mengelola masyarakat yang makin majemuk.
Namun, sejak pemerintah pusat menyetop dana kelurahan, anggaran tersebut kembali dimasukan dalam dana alokasi umum (DAU) pada pemerintah kota masing-masing.