3. Sumber penggajian
Sumber penggajian seharusnya berasal dari APBD/APBN, tapi honor yang diterima berasal dari urunan pegawai atau dari sumber lain seperti dari komite sekolah atau diambil ongkos kantor.
4. Format surat keputusan sama dari tahun ke tahun
Format SK selama menjadi honorer mendadak sama dari sisi narasi, font, jenis huruf, dan penanda tangan.
Bahkan ada SK, penanda tangannya sudah pensiun atau meninggal namun tandatangan masih digunakan.
5. Tidak ada dalam database
Kepala daerah hingga anggota Dewan mendesak honorer yang tidak masuk dalam data base agar tetap diangkat.
6. Rekrutmen berdasarkan rekomendasi
Metode ini paling banyak ditemukan dalam mempekerjakan tenaga honorer. Sisi buruk metode ini berpotensi merebaknya katabelece dan menyebabkan lingkungan kerja tidak sehat.
Itu hanya beberapa permasalahan pengangkatan honorer Katagori 1. Beruntunglah honorer yang pengangkatannya sesuai dengan PP 48/2005.
Dalam beberapa kasus, serombongan honorer yang melakukan “penyesuaian” dan berhasil mendapatkan NIP.
Namun, sayangnya ada satu calon yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS), maka honorer yang tidak lolos akan melakukan protes yang berakhir dengan pembatalan NIP secara kolektif.
Pembatalan NIP berdampak psikologis yang cukup berat, baik honorer maupun pengelola kepegawaian. Pada titik ini, beberapa pejabat kepegawaian terjungkal dari kursi jabatan.
Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 48/2005 menegaskan bahwa sejak ditetapkan Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pada Pasal 6 dari PP 48/2005 juga sudah menetapkan target bahwa pengangkatan tenaga honorer selesai pada tahun 2009.
Karena tidak rampung, terbitlah PP Nomor 43/2007 hingga PP 56 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP 48/2005.
Pertama, pengangkatan pegawai yang tidak selaras dengan kebutuhan organisasi akan membuat anggaran daerah habis untuk membayar gaji pegawai, sedangkan pembangunan infrastruktur terbengkalai.
Dikutip dari Banda Aceh-KemenagNews (18/12/2012), setidaknya ada 11 kabupaten/kota yang menghabiskan 70 persen lebih APBD-nya untuk belanja pegawai, termasuk gaji dan pekerja honorer.
Kabupaten/kota tersebut, yakni Kota Langsa (77 persen), Kabupaten Kuningan (74 persen), Kota Ambon (73 persen), Kabupaten Ngawi (73 persen), Kabupaten Bantul (72 persen), Kabupaten Bireun (72 persen), Kabupaten Klaten (72 persen), Kabupaten Aceh Barat (71 persen), Kota Gorontalo (70,3 persen), Kabupaten Karanganyar (70,1 persen), dan Kota Padangsidempuan.