Entah mendompleng biaya perjalanan dinas suami atau biaya sendiri, para istri pejabat tersebut begitu menikmati keindahan Davoz, kota di Swiss bagian timur.
Ragam gaya para istri pejabat ini diumbar di akun media sosialnya masing-masing, seakan membanggakan keindahan kota yang dialiri Sungai Landwasser dan merupakan kota di dataran paling tertinggi di Swiss dan Benua Eropa.
Aji mumpung dan mumpung “gratisan” memang susah dipisahkan dari kebiasaan orang-orang yang tengah memegang jabatan.
Dalam posisinya sebagai cendekiawan yang integritasnya diakui dunia, Buya Syafii Maarif yang didapuk sebagai Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) bisa saja tinggal “nelpon” Istana untuk meminta segala fasilitas mewah.
Justru Buya memilih “jalan sunyi” sendiri.
Makanya saya begitu masgul masih mendengar “akal-akalan” anggota Dewan untuk pelesir “gretongan” ke mancanegara dengan alasan studi banding.
Keberangkatan seluruh anggota DRPD daerah Istimewa Yogyakarta ke Italia selama seminggu, sungguh sebuah “tamparan” kesombongan untuk warga Yogyakarta (Kompas.com, 2 Juni 2022).
Kunjungan anggota DPRD Yogyakarta guna mempelajari pengembangan usaha mikro kecil dan menengah bidang usaha kulit dan pariwisata di Florence, Italia seperti menjungkirbalikkan akal sehat saja.
Masih kurang yakin, para anggota Dewan merekatkan penguatan budaya maupun bahasa karena Bahasa Indonesia tengah dipelajari di sebuah universitas di Napoli.
Biar tambah gagah lagi, para wakil rakyat ini juga belajar digitalisasi pemerintahan atau e-goverment.
Sangat disayangkan di saat Buya Syafii Maarif masih hidup, para anggopta Dewan yang rela “bersusah payah” belajar dalam waktu seminggu ke Italia itu tidak “studi banding” ke perumahan Nogotirto, Gamping, Slema tempat salah satu warganya mukim.
Harusnya anggota DPRD Yogyakarta itu belajar kunjungan ke palagan kehidupan yang tidak memuja kesempatan dalam kesempitan, yang begitu sahaja menjalani kehidupan “sak madyo”, namun sarat dengan nilai-nilai arif kehidupan.
Saya khawatir di lain waktu para anggota Dewan kita akan studi banding pemikiran luhur Buya Syafii Maarif di belahan dunia yang jauh demi akal-akalan mendapatkan biaya perjalanan dinas, pelesir gratis dan menikmati fasilitas sebagai “wakil rakyat”?
Bukankah kita sebagai rakyat jelata sudah mulai terbiasa untuk memahami “kebutuhan” para elite-elite kita – baik di Pusat ataupun Daerah – untuk tampil sekadar konten receh (snackable content) di media sosial demi meningkatkan popularitas.
Bukti kerja dan bukti pencapaian bukankah cukup melalui postingan gimmick dan kemasan yang tertata sementara kerja-kerja nyata di masyarakat hanyalah jargon belaka?
Kita sangat membutuhkan kehadiran sosok-sosok yang copy paste laksana Buya Syafii Maarif di tengah fenomena paceklik tokoh-tokoh panutan.
Kita butuh keteladanan yang tidak sekadar slogan tetapi kisah nyata “senyata-nyatanya” di kehidupan yang nyata.
Kita merindukan sosok yang berani menempuh “jalan sunyi” tanpa sorak sorai di keriuhan metaverse pencitraan semu.
Buya Syafii Maarif..........kami rindu keteduhanmu di panas terik kehidupan yang menipu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.