Padahal, jika mau saja segala kemudahan bisa didapatkannya. Di saat orang lain butuh layanan prioritas, Buya menempuh jalan “kebenaran” yang diyakininya.
Buya tidak sungkan untuk makan di angkringan di saat petinggi negeri ini malah mengumbar “kehebatannya” makan di restoran mahal.
Publik baru saja dikagetkan dengan tontonan yang tidak layak dijadikan tuntunan beberapa waktu yang lalu.
Seorang anggota Dewan yang terhormat menuntut mendapat meja makan yang langsung tersaji.
Sementara sang pelayan gagap menjelaskan kondisi tempat bekerjanya yang sudah membuka pemesanan untuk tamu lain.
Karena merasa tidak mendapat pelayanan yang semestinya, maka tangan sang anggota Dewan “melayang” ke muka pelayan.
Semuanya jelas terekam dari kamera pengawas, sementara wakil rakyat itu membantah yakin, dirinya hanya “mendorong” wajah sang pelayan yang berasal dari masyarakat biasa.
Antara frasa menampar dan mendorong saja, kalangan terhormat dan terdidik bingung. Bagaimana pula jika bicara tentang keadilan dan kemanfaatan hidup yang disuarakan Buya.
Memang untuk urusan “menempelkan” tangan atau apalah istilah yang digunakan anggota Dewan ke warga biasa, sudah menjadi tabiat kekuasaan yang sombong.
Jika untuk urusan makan di Labuan Bajo di atas menjadi gambaran wakil rakyat di tingkat pusat, di Gorontalo pun hanya gara-gara tidak mau diperiksa barang bawaanya oleh petugas bandara maka tangan anggota Dewan lokal kembali “melayang”.
Di saat pejabat bahkan kita semua butuh “pengakuan”, Buya justru melepas atribut-atribut itu semua.
Seorang kawan kampus saya di Malang, Jawa Timur begitu kecele dengan cara pilihan yang ditempuh Buya.
Sebagai tamu seminar, Buya telah disediakan kamar mewah di hotel yang ternama di Batu, daerah wisata yang kondang di sekitaran Malang.
Buya menolak dan memilih menginap di pemondokan yang sederhana, lengkap dengan gayung mandinya.
Bukan dibuat-buat tetapi itulah “lakon” yang ditempuh anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Di saat gaya hedonisme pejabat maupun mantan pejabat, baik yang di eksekutif, yudikatif terlebih di legeslatif menjadi kebanggaan diri pribadi bahkan di umbar di media sosial, ukuran malu ikut dipertanyakan publik.
Menjadi keprihatinan sekaligus menggugat kepedulian sosialnya di saat Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan keluarga tengah menanti penemuan putranya Emmeril Khan Mumtadz yang hanyut di Sungai Aare, Bern, Swiss, sejumlah istri para menteri bidang ekonomi tengah “mejeng” di Davoz.
Padahal jarak antara Bern dan Davoz bisa ditempuh dengan perjalanan darat selama 3 jam 15 menit atau kedua kota itu berjarak 269,5 kilometer.
Menurut penuturan sahabat saya Tjahja Gunawan, di saat tim penyelamat sedang sibuk mencari keberadaan Eril – demikian sapaan akrab Emmeril – istri-istri pejabat tersebut memang sedang mengikuti perjalanan dinas para suaminya yang tengah menghadiri World Economic Forum di Davoz, Swiss.
Alih-alih menyampaikan simpati ke keluarga Ridwan Kamil, mereka begitu bungah menikmati pesona Swiss.