Semua tempat berlangsungnya kekuasaan selalu menjadi tempat pembentukan dan perkembangan pengetahuan. Dengan kata lain, semua pengetahuan juga memungkinkan serta menjamin beroperasinya kekuasaan.
Kekuasaan yang ditopang dengan pengetahuan selalu menjadi hal yang sangat membuai bagi manusia karena pada dasarnya manusia memang memiliki hasrat untuk berkuasa (the will to power), tidak terkecuali mereka yang dikategorikan sebagai kelompok intelektual.
Dari sini, bisa disimpulkan bahwa ketegangan, represi, konflik, dan berbagai kontestasi wacana selalu terjadi dalam konteks perebutan serta upaya mempertahankan kekuasaan.
Di dalam suatu sistem organisasi yang tidak ‘sehat’, represif, dan otoriter, kelompok intelektual yang kritis dan berorientasi pada keadilan, kepentingan, dan kesejahteraan publik biasanya tidak diinginkan dan cenderung disingkirkan.
Sistem organisasi ini biasanya gemar menyeleksi orang-orang intelek yang hanya pro terhadap kekuasaannya, atau tidak jarang mereka memasang orang-orang yang tidak kompeten selama itu tidak mengancam kekuasaan mereka ketimbang merekrut orang-orang intelek kritis.
Hal ini dikarenakan eksistensi kelompok intelektual kritis dianggap berbahaya dan mengancam kekuasaan mereka.
Alih-alih dianggap sebagai masukan, kritik mereka kerap dianggap dapat berpotensi memprovokasi orang untuk resisten terhadap kekuasaan.
Tidak hanya itu, sistem yang otoriter biasanya gemar membangun sistem pendidikan yang didesain hanya untuk ‘mencetak’ tenaga kerja terdidik yang ditujukan untuk mendukung kepentingan penguasa.
Hal ini tentunya sangat problematis karena dunia pendidikan semestinya tidak hanya mencetak sumber daya manusia yang kompeten di hal-hal yang bersifat teknis untuk menopang kehidupan dan penghidupannya.
Dunia pendidikan juga mencetak manusia yang kritis dan memiliki kemampuan analitik yang baik untuk mencegah dominasi yang merugikan serta menyuarakan ‘kebenaran’ dan mengungkap kebohongan yang bersembunyi di balik ideologi.
Karena dalam upaya mempertahankan kekuasaannya, kelompok penguasa sering memanfaatkan narasi-narasi ideologis untuk ‘membuai’ masyarakat dan menampilkan diri sebagai pemimpin yang religius.
Padahal mereka sedang berusaha menutupi kebobrokan mereka dan menyamarkan tujuan-tujuan politik mereka.
Banyak contoh di negara-negara autokratis yang memanfaatkan narasi-narasi ideologis untuk ‘mendisiplinkan’ masyarakatnya sembari sukses meraup keuntungan besar dari mengeruk sumber daya alam untuk kepentingan eksistensi autokrasi dan upaya memperkaya diri sendiri.
Pilihannya hanya ada dua, yaitu menjadi bagian dari kelompok intelektual yang kritis dan mendedikasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk mengabdi pada kepentingan orang banyak dan turut aktif mewujudkan keadilan sosial.
Atau, menjadi kelompok intelektual yang nyaman berlindung di balik tirai kekuasaan dan menjadi ‘robot-robot’ yang dikendalikan oleh kelompok penguasa yang gemar meraup keuntungan semata tanpa memikirkan kepentingan rakyat banyak.
Jawaban terhadap pertanyaan ini memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin, dan tentu saja dibutuhkan keberanian, kejernihan berpikir, kejujuran, pengorbanan, serta waktu yang tidak sebentar untuk mendedikasikan diri sebagai kaum intelektual kritis yang memprioritaskan kebenaran, kemanusiaan, dan keadilan.
Sekali lagi, segala bentuk dominasi dan kekuasaan itu perlu untuk selalu dikritisi, dikoreksi, dan dipertanyakan untuk membongkar berbagai kepentingan yang ada di belakangnya (apakah berorientasi pada kepentingan bersama atau hanya kepentingan golongan tertentu saja).
Idealnya, kaum intelektual dengan segala penalaran kritisnya punya kemampuan untuk melakukannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.