DI DALAM satu sistem sosial, kaum intelektual selalu menjadi salah satu faktor penentu maju atau berkembangnya suatu peradaban masyarakat. Mereka juga kerap menjadi tumpuan harapan terwujudnya perubahan sosial ke arah yang lebih baik.
Siapa saja yang bisa dikategorikan sebagai kelompok intelektual? Apa peran mereka dalam konteks kehidupan sosial?
Keller (1995) mengkategorikan kelompok intelektual sebagai golongan elite dan minoritas-minoritas yang ‘efektif’ dan ‘bertanggung jawab’ atau dengan kata lain efektif melaksanakan kegiatan kepentingan dan perhatian kepada orang lain tempat golongan elite ini memberikan tanggapannya.
Kelompok intelektual umumnya direkrut dari segala kelas, kerap dijumpai dalam berbagai gerakan kebudayaan-politik. Selain itu mereka juga bukan pekerja tangan (kasar), dan umumnya menjauh dari masyarakat karena lebih bergaul dengan kelompoknya sendiri (Alatas, 1988).
Sebagai bagian kecil dari masyarakat suatu budaya, kelompok intelektual memiliki pengetahuan dan wawasan yang kompleks, meliputi pengetahuan teknis dan mekanis, agama, seni, kebudayaan, nasionalisme, ekonomi, sains, hukum, politik dan lain sebagainya.
Dalam Selection from Prison Notebooks, Antonio Gramsci membedakan kaum intelektual ke dalam beberapa tipologi:
Pertama, intelektual tradisional seperti guru, pemuka agama, dan para administrator. Kedua, intelektual organik seperti kalangan profesional yang melalui riset dan kajiannya berupaya memberikan refleksi atas situasi yang ada.
Ketiga, intelektual kritis, kelompok orang yang melalui pemikiran alternatif/kritisnya melakukan perlawanan untuk membebaskan diri dari jerat hegemoni atau dominasi kekuasaan.
Keempat, intelektual universal, yang memperjuangkan proses peradaban dan struktur budaya dalam konteks proyek kemanusiaan.
Filsuf Amerika yang juga dikenal sebagai Bapak Linguistik Modern, Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals mengatakan bahwa kelompok intelektual memiliki peran atau tanggung jawab untuk menyuarakan ‘kebenaran’ dan mengungkap kebohongan penguasa (to speak the truth and to expose the lies).
Mengapa sasarannya kelompok penguasa? Karena kelompok penguasa memiliki agenda-agenda tertentu yang tidak jarang manipulatif dan berorientasi pada kepentingan kelompok mereka sendiri ketimbang kepentingan bersama.
Oleh karena itu, kaum intelektual sepatutnya memiliki tanggung jawab untuk membongkar kedok kepentingan kelas yang kerap bersembunyi di balik ideologi (to seek the truth lying behind the veil of distortion, misinterpretation, ideology and class interest).
Dari definisi-definisi di atas, kelompok intelektual memang dapat berasal dari beragam kalangan dan profesi, seperti guru, dosen, profesor, mahasiswa, filsuf, ekonom, pemuka agama, budayawan, dan mereka yang memiliki pengetahuan serta penalaran.
Namun di sisi lain, kelompok intelektual bisa berada di lingkaran kekuasaan, misalnya saja dalam pemikiran Karl Marx, mereka berada di tatanan superstruktur dalam konteks masyarakat kapitalis yang berdekatan langsung dengan kelompok penguasa (pemilik modal) dan berperan aktif membentuk kesadaran kolektif sosial, bahkan melakukan kontrol sosial jika terjadi konflik.
Tidak hanya itu, dalam suatu organisasi tertentu, kelompok intelektual juga merupakan kelompok elite penguasa. Hal ini senada dengan argumen Michel Foucault yang mengatakan bahwa pengetahuan (knowledge) berdampingan dengan kekuasaan (power).
Semua tempat berlangsungnya kekuasaan selalu menjadi tempat pembentukan dan perkembangan pengetahuan. Dengan kata lain, semua pengetahuan juga memungkinkan serta menjamin beroperasinya kekuasaan.
Kekuasaan yang ditopang dengan pengetahuan selalu menjadi hal yang sangat membuai bagi manusia karena pada dasarnya manusia memang memiliki hasrat untuk berkuasa (the will to power), tidak terkecuali mereka yang dikategorikan sebagai kelompok intelektual.
Dari sini, bisa disimpulkan bahwa ketegangan, represi, konflik, dan berbagai kontestasi wacana selalu terjadi dalam konteks perebutan serta upaya mempertahankan kekuasaan.
Di dalam suatu sistem organisasi yang tidak ‘sehat’, represif, dan otoriter, kelompok intelektual yang kritis dan berorientasi pada keadilan, kepentingan, dan kesejahteraan publik biasanya tidak diinginkan dan cenderung disingkirkan.
Sistem organisasi ini biasanya gemar menyeleksi orang-orang intelek yang hanya pro terhadap kekuasaannya, atau tidak jarang mereka memasang orang-orang yang tidak kompeten selama itu tidak mengancam kekuasaan mereka ketimbang merekrut orang-orang intelek kritis.
Hal ini dikarenakan eksistensi kelompok intelektual kritis dianggap berbahaya dan mengancam kekuasaan mereka.
Alih-alih dianggap sebagai masukan, kritik mereka kerap dianggap dapat berpotensi memprovokasi orang untuk resisten terhadap kekuasaan.
Tidak hanya itu, sistem yang otoriter biasanya gemar membangun sistem pendidikan yang didesain hanya untuk ‘mencetak’ tenaga kerja terdidik yang ditujukan untuk mendukung kepentingan penguasa.
Hal ini tentunya sangat problematis karena dunia pendidikan semestinya tidak hanya mencetak sumber daya manusia yang kompeten di hal-hal yang bersifat teknis untuk menopang kehidupan dan penghidupannya.
Dunia pendidikan juga mencetak manusia yang kritis dan memiliki kemampuan analitik yang baik untuk mencegah dominasi yang merugikan serta menyuarakan ‘kebenaran’ dan mengungkap kebohongan yang bersembunyi di balik ideologi.
Karena dalam upaya mempertahankan kekuasaannya, kelompok penguasa sering memanfaatkan narasi-narasi ideologis untuk ‘membuai’ masyarakat dan menampilkan diri sebagai pemimpin yang religius.
Padahal mereka sedang berusaha menutupi kebobrokan mereka dan menyamarkan tujuan-tujuan politik mereka.
Banyak contoh di negara-negara autokratis yang memanfaatkan narasi-narasi ideologis untuk ‘mendisiplinkan’ masyarakatnya sembari sukses meraup keuntungan besar dari mengeruk sumber daya alam untuk kepentingan eksistensi autokrasi dan upaya memperkaya diri sendiri.
Pilihannya hanya ada dua, yaitu menjadi bagian dari kelompok intelektual yang kritis dan mendedikasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk mengabdi pada kepentingan orang banyak dan turut aktif mewujudkan keadilan sosial.
Atau, menjadi kelompok intelektual yang nyaman berlindung di balik tirai kekuasaan dan menjadi ‘robot-robot’ yang dikendalikan oleh kelompok penguasa yang gemar meraup keuntungan semata tanpa memikirkan kepentingan rakyat banyak.
Jawaban terhadap pertanyaan ini memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin, dan tentu saja dibutuhkan keberanian, kejernihan berpikir, kejujuran, pengorbanan, serta waktu yang tidak sebentar untuk mendedikasikan diri sebagai kaum intelektual kritis yang memprioritaskan kebenaran, kemanusiaan, dan keadilan.
Sekali lagi, segala bentuk dominasi dan kekuasaan itu perlu untuk selalu dikritisi, dikoreksi, dan dipertanyakan untuk membongkar berbagai kepentingan yang ada di belakangnya (apakah berorientasi pada kepentingan bersama atau hanya kepentingan golongan tertentu saja).
Idealnya, kaum intelektual dengan segala penalaran kritisnya punya kemampuan untuk melakukannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.