JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah sekian lama menjadi tersangka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh atau John Irfan Kenway.
Irfan merupakan tersangka tunggal kasus korupsi pengadaan Helikopter AW-101 di TNI AU pada 2016-2017. Dalam kasus ini belum ada tersangka dari pihak penyelenggara negara.
Adapun kasus ini bermula saat TNI Angkatan Udara melakukan pengadaan satu unit helikopter Agusta Westland (AW)-101 pada 2016.
Awalnya, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) saat itu, Marsekal Agus Supriatna menyebutkan, pihaknya akan membeli enam unit helikopter yang berasal dari Inggris tersebut.
Rinciannya, tiga unit untuk alat angkut berat dan tiga unit untuk kendaraan VVIP. Namun, Presiden Joko Widodo pada Desember 2015 menolak usulan pengadaan helikopter tersebut.
Menurut Jokowi, harga helikopter itu terlalu mahal di tengah kondisi perekonomian nasional yang belum terlalu bangkit.
Baca juga: Usai Tetapkan Tersangka, KPK Bakal Koordinasi dengan TNI Terkait Kasus Helikopter AW-101
Setahun kemudian, TNI AU tetap membeli helikopter tersebut meski mendapat penolakan Presiden.
Meski demikian, KSAU menegaskan bahwa helikopter yang dibeli hanya satu unit. Helikopter tersebut juga dibeli dengan anggaran TNI AU, bukan Sekretariat Negara.
Terkendala alat bukti
Wakil Ketua KPK saat itu, Laode M Syarif menyatakan, kompleksitas penanganan dan pengumpulan alat bukti menjadi salah satu kendala dalam penanganan kasus ini.
Padahal, pada saat yang sama, KPK telah berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI untuk pengungkapan kasus tersebut.
"KPK menangani satu orang pihak swasta, sedangkan POM TNI menangani tersangka dengan latar belakang militer," kata Laode melalui keterangan tertulis, Selasa (12/11/2019).
Pihak TNI telah menetapkan lima tersangka. Mereka adalah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas Letkol administrasi WW.
Lainnya, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Baca juga: Kasus Helikopter AW-101, Tersangka Irfan Kurnia Saleh Diduga Rugikan Negara Rp 224 Miliar
Selain itu, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan Asisten Perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Akan tetapi dalam perkembangannya, Puspom TNI menghentikan penyidikan terhadap para tersangka yang berlatar belakang militer tersebut.
Dipelajari Panglima
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa memberi perhatian terkait langkah Puspom TNI yang menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter (AW)-101.
Andika menyatakan bakal mempelajari berkas-berkas dari kasus yang diduga melibatkan unsur TNI tersebut.
"Saya harus telusuri dulu ya. Saya masih orientasi tugas-tugas saya lebih dalam, sehingga masih belum semua hal saya ketahui," ujar Andika kepada Kompas com, Selasa (28/12/2021).
"Saya akan pelajari dulu berkas-berkas yang sudah dibuat sampai dengan kesimpulan," kata mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu.
KPK Bakal Koordinasi
KPK bakal melakukan koordinasi dan supervisi dengan pihak TNI terkait penanganan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter AW-101.
Koordinasi itu dilakukan lantaran KPK telah menemukan bukti yang cukup untuk menahan Irfan yang merupakan pihak swasta.
Baca juga: KPK Tahan Irfan Kurnia Saleh, Tersangka Kasus Pembelian Helikopter AW-101
"KPK di dalam Undang-Undang nomor 19 tahun 2019 di dalam pasal 6 huruf D ada itu. KPK melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan korupsi, termasuk pihak rekan-rekan TNI," ujar Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (24/5/2022).
Firli mengatakan, lembaganya bisa meninjau atau melakukan supervisi penanganan perkara yang juga diusut Puspom TNI.
"Di dalam Pasal 8 huruf A itu lebih jelas lagi. Dalam Pasal 8 huruf A UU Nomor 19 tahun 2019 disebutkan bahwa KPK tugasnya mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntuan tindak pidana korupsi. Artinya, tentu kita harus laksanakan amanat UU itu," terangnya.
Alasan tahan tersangka swasta
Firli menjelaskan, lembaganya dapat menangani siapa pun pihak yang terlibat kasus korupsi berdasarkan aturan Undang-Undang tentang KPK.
Berdasarkan aturan Pasal 11 Undang-Undang nomor 19 tahun 2019, KPK dapat mengusut kasus korupsi dengan subyek hukum penyelenggara negara dan aparat penegak hukum. Akan tetapi, Pasal tersebut bukan kumulatif.
Menurut Firli, penjelasan Pasal UU KPK itu juga menyebutkan bahwa KPK dapat menjerat siapa pun pihak yang diduga menyebabkan terjadinya kerugian negara.
"KPK dapat melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Ada syaratnya dua, aparat penegak hukum atau penyelenggara negara atau pihak terkait. Oke, di kalimat berikutnya ada 'dan atau titik koma', menimbulkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 1 miliar di Ayat 2 nya," terang Firli.
"Itu di Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019. Kalau bicara dan atau, tentulah kawan-kawan sudah paham itu bukan kumulatif, boleh alternatif ya," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.